Bisnis.com, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditargetkan sebesar 5,3% bakal sulit dicapai akibat dampak slowdown China yang diperkirakan cukup masif.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan perlambatan ekonomi China berpotensi mengurangi permintaan bahan baku dari Indonesia baik komoditas energi, tambang, perkebunan maupun perikanan.
"Efeknya kinerja ekspor tahun ini diperkirakan hanya ada dikisaran 6-7%," kata Bhima, Senin (21/1/2019).
Porsi ekspor Indonesia ke China cukup besar, yakni sekitar 15% pada 2018 atau sebesar US$24,3 miliar.
Sementara itu, melemahnya permintaan China membuat harga komoditas dalam proses pemulihan yang lebih lama baik minyak mentah, batubara, sawit, dan karet.
Otomatis pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor komoditas khususnya di Kalimantan dan Sumatra tertekan.
"Pertumbuhan ekonomi didaerah berbasis komoditas prospeknya turun," tambah Bhima.
Lebih lanjut, Bhima menuturkan pelemahan ekonomi di China akan membuat investor sektor keuangan investor mencari aman dengan mengalihkan dana ke surat utang dan mata uang yen Jepang.
Ini terlihat dari respons rupiah yang melemah di level Rp14.220 atau 0,35% pada sesi perdagangan siang ini, Senin (21/1).
Alhasil, investor akan menunda masuk ke Indonesia melihat outlook ekonomi global yang slowdown.
"FDI di tahun 2019 sulit untuk diharapkan," ujar Bhima.
Terlebih lagi bertepatan dengan Pilpres, investor akan cenderung 'wait and see' seiring perbaikan data ekonomi China.
Namun, Bhima ragu ekonomi China akan membaik dalam waktu dekat, selama perang dagang belum diakhiri.
"Konsekuensinya growth akan berkisar 5,0-5.1% tahun ini," ungkapnya.
Oleh karena itu, Bhima berharap pemerintah terus memperkuat penetrasi ke pasar nontradisional, melakukan hilirisasi industri sehingga lebih imun terhadap fluktuasi harga commodity, dan memberikan insentif ke sektor berorientasi ekspor.
Ekonom dari CSIS Mari Elka Pangestu menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa sedikit lebih rendah karena keadaan eksternal yang tidak pasti. Tentunya, ini akan berpengaruh ke ekspor dan keinginan untuk investasi.
"Tapi harusnya pertumbuhannya bisa sekitar 5% karena sumber pertumbuhan dalam negeri, konsumsi dan belanja pemerintah, plus investasi. Ini yang perlu dijaga," tegas Mari.
Saat ini, dia menilai kebijakan makro sudah relatif tepat karena fokus ke stabilitas di tengah keadaan tidak pasti, dibandingkan mengejar pertumbuhan tinggi.
Dia menilai kebijakan Fiskal dapat fokus ke belanja dalam negeri yang bisa menciptakan stimulus, maupun menjaga daya beli masyarakat. Contohnya, dukungan untuk kesehatan, pendidikan, Dana Desa serta kebijakan di pajak dan bea cukai yang mendukung.
Sementara itu, kebijakan moneter fokus ke stabilitas rupiah dan menjaganya dari risiko volatilitas arus modal dengan menaikan suku bunga.
Di sisi lain, Mari menyoroti tantangan berbagai reformasi yang diperlukan untuk mendorong daya saing ekspor barang maupun jasa-Jasa dan menarik investasi.
Dengan ketidakpastian iklim perdagangan, dia melihat banyak perusahaan akan mengalihkan sebagian produksinya keluar dari China dan akan ada perubahan global value chain dimana Asia Tenggara menarik sebagai tempat relokasi.
Dia menilai Indonesia perlu bersaing dalam hal ini. "Reformasi diharapkan. Namun menunggu setelah Pemilu."