Bisnis.com, JAKARTA — Para pengusaha menilai rencana pemberian insentif super deduction tax tidak akan cukup untuk mengatrol produktivitas tenaga kerja di Indonesia, selama tidak ada upaya memulihkan kinerja industri domestik.
Ketua Ikatan Sarjana Teknik Industri dan Manajemen Industri Indonesia Faizal Safa mengatakan, upaya insentif untuk peningkatan produktivitas pekerja Tanah Air selama ini tak diimbangi dengan langkah pembenahan kinerja industri.
Menurutnya, industri membutuhkan kebijakan pemberian insentif fiskal dan penurunan biaya logistik agar bisa tetap bertumbuh.
“Saat ini pertumbuhan industri di bawah 4,8%. Industri yang sehat seharusnya menyumbang 30% dari produk domestik bruto [PDB], tapi sekarang baru sekitar 20% yang disumbang,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (19/12/2018).
Oleh karena itu, tegasnya, insentif untuk peningkatan produktivitas pekerja jangan hanya dilakukan dari sisi tenaga kerja, tetapi juga dari sisi industri.
“Sekarang [pelaku industri] tengah berebut bahan baku di pasar global. Kami berharap ada insentif fiskal [untuk] impor bahan baku dan barang modal. Lalu, kami juga terhambat biaya logistik, termasuk pungutan di pelabuhan. Ini harus diperbaiki. Namun demikian, kami apresiasi adanya super deduction tax ini,” kata Faizal.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B. Sukamdani menuturkan, saat ini pelaku usaha menghadapi tantangan terkait dengan konektivitas antarwilayah Indonesia. Untuk itu, penguatan konektivitas dari wilayah barat hingga timur mutlak dilakukan untuk menstimulus pertumbuhan simpul-simpul gerakan ekonomi baru di daerah selain Jawa.
“Adanya penguatan konektivitas yang sejalan dengan pertumbuhan pergerakan ekonomi baru di daerah tentu akan mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing nasional,” ucapnya.
UPAYA PEMERINTAH
Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Produktivitas Nasional (LPN) Iskandar Simorangkir mengatakan, sejauh ini upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan produktivitas adalah pemberian insentif untuk dunia usaha berupa super deduction tax yang sebesar 200%.
“Jadi, pengusaha bisa terima 200%. Saat ini, Peraturan Menteri Keuangan [PMK] terkait dengan super deduction tax ini sudah dibuat, tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo. Kira-kira awal tahun depan dapat ditandatangani.”
Sekadar catatan, super deduction tax merupakan insentif pajak bagi para pelaku usaha dengan memperbesar faktor pengurang Pajak Penghasilan (PPh) atau tax allowance secara jumbo agar PPh yang dibayarkan badan usaha makin kecil.
Insentif fiskal ini rencananya akan diberikan kepada industri yang terlibat dalam program pendidikan vokasi, Balai Latihan Kerja (BLK), serta yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) untuk menghasilkan inovasi.
Menurut Iskandar, pemberian insentif ini tujuannya adalah agar pekerja lulusan SMK, BLK, dan vokasi dapat terserap oleh industri karena apa yang diajarkan sesuai dengan kebutuhan para pelaku usaha.
Selain memberikan super deduction tax, pemerintah akan memetakan kompetensi apa saja yang dibutuhkan industri pada waktu mendatang. Pihaknya juga mendorong agar seluruh lulusan SMK, vokasi, dan BLK bisa tersertifikasi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Iskandar menambahkan, pemerintah saat ini tengah membuat Gerakan Peningkatan Produktivitas Daya Saing Nasional (GNP3DSN) yang mendorong masyarakat agar keluar dari jebakan kelas menengah (middle income trap) dengan cara memasifkan produktivitas. Menurutnya, dengan adanya peningkatan produktivitas tenaga kerja Indonesia akan berdampak pula meningkatnya daya saing industri Indonesia karena merupakan satu kesatuan yang utuh.
Produktivitas di Beberapa Negara di Asia (US$/jam)
Negara 2016 2017 2018
Singapura 56,4 64,45 66,11
Hong Kong 50,8 54,69 56,09
China 44,9 13,85 14,77
Jepang 44,6 46,37 46,65
Korea Selatan 30,1 36,87 37,75
Iran 28,8 n/a n/a
Malaysia 25,9 30 29,74
Sri Lanka 15,9 16,25 18,91
Mongolia 15 n/a n/a
Thailand 12,8 14,97 15,52
Indonesia 12,3 13,49 13,92
Taiwan n/a 51,36 52,23
Produktivitas di Beberapa Negara di Asia (ribu US$/tenaga kerja)
Negara 2016 2017 2018
Singapura 131,9 144,2 147,93
Hong Kong 110,5 118,32 122,59
China 95,5 30,0 32,12
Jepang 78,7 80,60 80,93
Iran 67,5 n/a n/a
Korea Selatan 65,2 76,14 77,89
Malaysia 56,4 67,17 66,56
Sri Lanka 30,7 31,2 36,37
Mongolia 28,4 n/a n/a
Thailand 28,3 32,71 33,91
Indonesia 24,9 27,13 28,18
Taiwan n/a 103,26 103,95
Sumber : The Conference Board dan Asian Productivity Organization, diolah