Bisnis.com, JAKARTA -- Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menggagas inspeksi gabungan (joint inspection) dengan Badan Karantina terhadap barang impor untuk memangkas dwelling time di precustom clearance yang hingga kini berkontribusi paling besar di Pelabuhan Tanjung Priok.
Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan saat ini barang impor wajib tindakan karantina harus diperiksa secara fisik atau dokumen di Karantina dulu sebelum masuk ke INSW dan CEISA (sistem informasi DJBC).
Setelah terbit sertifikat pelepasan, seperti KT-9 untuk karantina tumbuhan, KH-14 untuk hewan, dan KI-D12 untuk produk perikanan, importir baru diperbolehkan memasukkan dokumen pemberitahuan impor barang (PIB).
Selanjutnya, barang dicek lartas oleh INSW, lalu masuk ke sistem CEISA untuk dilakukan penjaluran. Jika masuk jalur merah, maka dilakukan pemeriksaan fisik terhadap barang. Jika masuk jalur kuning, maka dilakukan pengecekan dokumen sebelum surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB) diterbitkan. Jika masuk jalur hijau, maka barang langsung mengantongi SPPB.
Proses ini membuat barang harus diperiksa dua kali (double checking) sehingga terjadi inefisiensi waktu dan biaya.
"Kalau di pelabuhan, pasti [ini soal] pergerakan uang. Setidaknya itu ada lo-lo [biaya lift on-lift off], waktu, dan biaya pemeriksaan. Itu pasti duit. Oleh karena itu, bagaimana ini kami simplifikasi, hanya satu pemeriksaan," katanya, Selasa (18/12/2018).
Adapun prosedur baru nantinya lebih ringkas. Importir cukup melampirkan surat persetujuan bongkar barang (KT-2, KH-5, KI-D12) saat submit PIB.
Barang kemudian dicek oleh INSW, lalu masuk ke sistem CEISA untuk dilakukan penjaluran. Saat barang ditetapkan masuk jalur merah atau kuning, barulah dilakukan pemeriksaan fisik atau pengecekan dokumen. Dengan demikian, hanya ada satu kali pemeriksaan alias single checking terhadap barang wajib tindakan karantina dan mendapatkan jalur merah.
"Dengan demikian, dwelling time dapat lebih cepat," kata Fadjar.
Berdasarkan data DJBC, dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok per Oktober 2018 mencapai 3,04 hari. Precustom clearance menyumbang paling banyak, yakni 1,9 hari, disusul postcustom clearance 1,07 hari, dan custom clearance 0,25 hari.
Fadjar memberi gambaran, pergerakan barang dari tempat penimbunan sementara (TPS) lini 1 ke tempat pemeriksaan fisik setidaknya sehari. Belum lagi penarikan dari tempat bongkar karantina sekalipun hanya 2,5 jam.
"Makanya kami mencoba mengusulkan [joint inspection]. Yang sedang kami ajak ngobrol adalah karantina, baik di Kementerian Pertanian, khususnya untuk produk hewan dan tumbuhan, maupun karantina ikan di Kementerian Kelautan dan Perikanan," tutur Fadjar.
Namun, lanjut dia, joint inspection yang diusulkan DJBC mempersyaratkan penerapan Indonesia Single Risk Management (ISRM) sebelum barang masuk ke sistem CEISA. Sebagai gambaran, dalam ISRM, para importir yang sudah mendapatkan profil 'hijau' dari DJBC, otomatis memperoleh profil yang sama dari kementerian/lembaga lain. Demikian pula jika mendapatkan profil 'merah' atau 'kuning'. Sayangnya, antarkementerian dan lembaga belum padu soal ISRM.
Di samping itu, gagasan joint inspection meninggalkan pertanyaan yang belum berhasil dipecahkan, yakni adanya dua keputusan pengeluaran barang, yakni SPPB dari DJBC dan KT-9, KH-14, atau KI-D12 dari Karantina.
"Ini sedang kami kembangkan. Kami minta masukan apa mungkin ada cara yang lebih cepat lagi."