Bisnis.com, JAKARTA--Asian Development Bank (ADB) memangkas perkiraan laju pertumbuhan ekonomi negara berkembang Asia untuk tahun depan. Pasalnya, eskalasi perang dagang Amerika Serikat dengan China diperkirakan dapat menimbulkan tekanan terhadap negara-negara di kawasan Asia yang bergantung terhadap kinerja ekspor.
Selain itu, risiko aliran arus modal keluar (capital outflow) akibat pengetatan likuiditas global juga akan menjadi risiko terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan negara berkembang Asia.
Asian Development Outlook (ADO) yang dikeluarkan oleh institusi keuangan yang berbasis di Manila, Filipina, tersebut menahan perkiraan pertumbuhan ekonomi negara berkembang Asia untuk tahun ini di level 6,0%. Namun, ADB memangkas perkiraan pertumbuhan tahun depan menjadi 5,8%, dari sebelumnya 5,9%.
Untuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih kuat sebesar 5,2% pada tahun ini, atau turun dari perkiraan sebelumnya 5,3%. Akan tetapi, perkiraan tersebut tetap menguat dari 5,1% pada 2017, dan pertumbuhan ekonomi ke depannya diperkirakan masih berlanjut pada 2019 sebesar 5,3%.
"Risiko penurunan (downside risks) dari perkiraan ini juga semakin intens," kata Kepala Ekonom ADB Yasuyuki Sawada, mengacu kepada potensi dampak dari tensi perdagangan AS--China terhadap rantai penawaran di negara berkembang Asia dan risiko capital outflow akibat kenaikan suku bunga acuan AS, seperti dikutip Reuters, Rabu (26/9/2018).
Bank Sentral AS (Federal Reserve) diperkirakan bakal mengerek suku bunga untuk ketiga kalinya pada tahun ini dalam Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang berakhir pada Rabu (26/9/2018). Adapun suku bunga acuan akan dinaikkan sebesar 25 bps menjadi 2,00%—2,25%.
Lebih lanjut, perkiraan terbaru dari ADB tersebut tidak memasukkan pengukuran dari tarif terbaru yang telah diberlakukan AS terhadap China, yaitu tarif sebesar 10% untuk produk impor asal China senilai US$200 miliar.
Sawada melanjutkan bahwa tambahan tarif tersebut tidak akan terlalu mengubah perkiraan pertumbuhan ADB secara signifikan, tapi tambahan eskalasi selisih dagang akan terus dipantau.
Adapun untuk pertumbuhan ekonomi China diperkirakan tumbuh 6,3% pada tahun depan, atau lebih rendah daripada perkiraan sebelumnya sebesar 6,4%. Perkiraan tersebut pun lebih lemah daripada perkiraan pertumbuhan ekonomi Negeri Panda untuk 2018 sebesar 6,6%, atau tidak berubah dari perkiraan sebelumnya.
Sawada menjelaskan bahwa konsumsi domestik di China masih kuat dan dapat mendukung pertumbuhan pada tahun ini.
"Namun, harus diakui, kami tidak tahu bagaimana kelanjutan eskalasi perdagangan dapat berdampak pada sentimen konsumen [di China]," tambah Sawada.
Sejauh ini, otoritas di China telah mengupayakan segala cara untuk mencapai target pertumbuhan yang ditetapkan pemerintah pada tahun ini, yaitu di sekitar 6,5%. Pemerintah China pun belakangan ini telah mengambil kebijakan yang diharapkan dapat menopang pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah perlambatan ekonomi dan tensi dagang dengan AS.