Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah, Bank Indonesia, dan Komisi XI DPR RI menyepakati asumsi makro dalam RAPBN 2019 sesuai dengan Nota Keuangan 2019.
Pembahasan cukup alot terutama pada pembahasan asumsi kurs sebesar Rp14.400 dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% dengan down side risk di level 5,15%.
Pimpinan rapat dari Fraksi Partai Golkar Melchias Markus Mekeng mengetuk palu untuk mengesahkan seluruh asumsi makro RAPBN 2019, yakni pertumbuhan ekonomi 5,3%, inflasi 3,5%, nilai tukar Rp14.400 dan suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,3% sementara untuk lifting minyak dan harga minyak masih menanti hasil pembahasan Komisi VIII bersama Kementerian ESDM.
Pembahasan berkutat dalam menyetarakan asumsi mengenai pertumbuhan ekonomi dan kurs nilai tukar. Kekhawatiran anggota Dewan terutama mengenai kondisi nilai tukar rupiah yang melewati Rp14.800 dan dikhawatirkan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan target pertumbuhan ekonomi yang dipatok 5,3% pada RAPBN 2019 dapat meleset hingga ke level 5,15%. Depresiasi rupiah menjadi faktor yang memengaruhi investasi dan konsumsi serta aktivitas ekspor impor.
Pertumbuhan ekonomi di kuartal III/2018 diproyeksikan berada di kisaran 5,13% – 5,25%
"Bisa meleset di 5,15% karena dinamika dengan impor yang meningkat akibat depresiasi rupiah, investasi dan konsumsi terpengaruh, sehingga turun di 5,15% di 2019," ungkapnya di Gedung DPR pada Kamis (13/9/2019).
Menurutnya, dinamika situasi global saat ini mesti diwaspadai, sehingga pertumbuhan ekonomi akan terpengaruh dari sisi supply dan demand.
Dia memerinci pertumbuhan ekonomi di kuartal III/2018 diproyeksikan berada di kisaran 5,13% – 5,25%. Jumlah tersebut didapatkan dari ekspektasi konsumsi dari inflasi yang terjaga.
Sementara, penanaman modal tetap bruto (PMTB) kuartal III/2018 diperkirakan pulih di sekitar 6,7% –6,9%.
"Ekspor stabil di antara 6% – 7%, meskipun terlihat data di Bea Cukai yang melakukan penundaan impor pada libur panjang kuartal II sehingga impor di kuartal III masih tinggi di kisaran 10% dan mulai melandai karena depresiasi rupiah," kata Menkeu.
Dia melanjutkan pertumbuhan ekonomi di kuartal IV/2018 di kisaran 5,10% – 5,23%. Hal ini didukung pertumbuhan ekspor yang mencapai 8% dan impor yang pertumbuhannya akan melandai menjadi 8%.
Secara tahunan, Menkeu menjelaskan konsumsi rumah tangga akan bertahan di atas 5% dan PMTB di kisaran 6%-7%. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan 5,14% – 5,21%. "Dengan demikian, kita bisa excercise keseluruhan 2018 bisa bertahan di 5,2%," ucapnya.
Rupiah Dapat Menguat
Terkait dengan nilai tukar rupiah, Sri Mulyani mengatakan real effective exchange rates (REER) rupiah terhadap dolar AS per Agustus 2018 berada di level 88,8 dari titik seimbang 100. Ini menurutnya yang menggambarkan rupiah dapat terus menguat.
Dia merujuk pada pergerakan rupiah saat ini yang di atas Rp14.800. Angka tersebut, menurutnya, jika dibandingkan dengan REER, rupiah berada pada posisi undervalued.
"Artinya, koreksi rupiah merupakan reaksi neraca pembayaran kita, menyebabkan [investor] merasa lebih murah untuk melakukan impor," jelasnya.
Sri Mulyani menjelaskan per 7 September rata-rata nilai tukar sejak awal tahun sebesar Rp13.977 dan perkiraannya dengan lanjutan pelemahan seperti saat ini rata-rata akhir tahun dapat mendekati Rp14.400 sesuai dengan asumsi makro 2019.
Menkeu juga memerinci jika terjadi penguatan rupiah sebesar Rp100, penerimaan pemerintah akan berkurang Rp 4,6 triliun, sementara belanja negara turun Rp3,4 triliun. Dengan demikian, total postur minus Rp1,26 triliun, begitu sebaliknya saat rupiah melemah.
Sementara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengungkapkan pada 2019 pengetatan likuiditas dolar AS akan berlanjut karena Fed Fund Rate (FFF) masih akan naik 1,25%.
"Sebagaimana diketahui, siklus pengetatan ekonomi di AS, dimulai dari 2013, adalah di saat AS memberikan aba-aba akan melakukan pengetatan dan pertengahan 2013 pasar keuangan emerging market mengalami volatilitas yang tinggi, bahkan sampai ke 2018," jelasnya.
Selain suku bunga AS, menurutnya Bank Sentral Eropa (ECB) pun akan mulai menaikkan suku bunganya pada semester II/2019. "Kenaikan suku bunga itu pengaruh ke emerging market walaupun kecil dampaknya dari ECB dan Bank of Japan," paparnya.
Dengan demikian, kata Mirza, BI menetapkan kisaran pergerakan rupiah pada 2019 di level Rp14.300 - Rp14.700. Kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia pun akan lebih ketat.
Pemerintah Lebih Realistis
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohamad Faisal menilai pemerintah lebih realistis dengan membuka perkiraan terendah pertumbuhan ekonomi di angka 5,15%. Selama beberapa tahun terakhir, ujarnya, pemerintah berusaha terus optimis dan tidak pernah tercapai targetnya.
Seharusnya asumsi kurs dapat dibuat dalam rentang nilai tertentu, sebab kurs terus berfluktuasi dan sulit untuk menakarnya secara tepat.
"Pelemahan rupiah dan sisi derasnya impor transaksi berjalan, ini secara logika sampai tahun depan masih ada tekanan, efektivitas upayanya masih rendah [menahan tekanan] dan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi tahun depan. Upaya-upaya menahan impor itu pun ada efek samping, kalau tidak dikelola hati-hati inflasi bisa naik," paparnya kepada Bisnis.
Dengan demikian, lanjutnya, upaya-upaya jangka panjang mesti jadi fokus pemerintah terutama dalam meningkatkan daya saing industri dalam negeri.
Saat industri dalam negerinya berdaya saing, otomatis impor akan berkurang dan ekspor meningkat. Defisit transaksi berjalan dan perdagangan pun dapat teratasi.
Sementara untuk asumsi kurs rupiah, dia menyayangkan seharusnya asumsi kurs dapat dibuat dalam rentang nilai tertentu, sebab kurs terus berfluktuasi dan sulit untuk menakarnya secara tepat.
“Memang ada risiko kalau rupiah melemah sampai pada titik kepanikan ini yang membuat jadi tak terkendali selama itu tidak terjadi, rupiah dapat bergerak di level Rp14.400 – Rp14.900 pada tahun depan," ungkap Faisal.