Bisnis.com, JAKARTA--Pelaku industri mebel terus mendesak pemerintah untuk menghapus aturan Sistem Verifikasi dan Legalitas (SVLK) di hilir. Kebijakan ini dinilai menghambat ekspor industri ini tumbuh tinggi.
SVLK merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia.
Semua kayu, baik dari hutan negara atau hutan hak, wajib menjalani verifikasi legalitas. Begitu pula di industri, kayu yang menjadi bahan baku harus menjalani verifikasi legalitas sampai pada saat menjadi produk kayu.
Abdul Sobur, Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki), mengatakan aturan tersebut melemahkan daya saing industri mebel karena biaya yang dikeluarkan setiap perusahaan untuk mengurus SVLK tidak murah.
"Kalau SVLK sudah dilaksanakan di hulu, sebaiknya di hilir enggak usah karena kami juga menggunakan bahan baku yang telah melalui sertifikasi SVLK. Apakah kayu legal kalau diolah jadi mebel, berubah menjadi ilegal?" ujarnya akhir pekan lalu.
Sobur menyatakan aturan SVLK untuk hulu lebih dulu diterapkan dibandingkan industri hilir.
Dia menyebutkan kebijakan untuk industri mebel efektif setelah pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan beleid terkait mandatori penerapan SVLK dari hulu hingga hilir apabila para pengusaha akan mengekspor produknya.
Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25/2016 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 89/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Lebih jauh, Sobur menyebutkan pihaknya telah menyampaikan aspirasi tersebut kepada Presiden Joko Widodo di Istana Bogor beberapa waktu lalu, saat membahas upaya peningkatan ekspor untuk memperbaiki nilai tukar rupiah.
"Sektor mebel ini kan salah satu yang bisa sumbang ekspor besar, tingkat komponen dalam negeri juga tinggi. Kalau ingin ekspor mebel tumbuh lagi, salah satunya SVLK di hilir enggak usah," jelasnya.
Selain evaluasi kewajiban SVLK untuk industri mebel, Sobur juga berharap pemerintah bisa memberikan insentif berupa bantuan untuk restrukturisasi mesin produksi. Pembaruan mesin-mesin ini dapat meningkatkan produktivitas industri mebel.
"Insentif ini bisa merangsang pengusaha supaya mau berinvestasi di industri mebel," katanya.
Adapun, dalam pengembangan industri nasional, Kemenperin menetapkan industri furnitur dan kerajinan sebagai salah satu sektor yang diprioritaskan.
Alasannya, industri ini mampu menghasilkan nilai tambah tinggi, berdaya saing global, berorientasi ekspor, menyerap banyak tenaga kerja, serta didukung dengan ketersediaan sumber bahan baku yang cukup berupa kayu, rotan dan bambu.
Berdasarkan catatan Kemenperin, terdapat 140 ribu unit usaha yang bergerak di sektor industri furnitur dengan jumlah penyerapan tenaga kerja sebanyak 436.000 orang dan nilai investasi mencapai Rp5,8 triliun pada 2015.
Saat ini, Indonesia menempati posisi ke-5 sebagai negara eksportir produk furnitur. “Untuk industri kerajinan, kita memiliki hingga 1,32 juta orang tenaga kerja yang diserap oleh sekitar 696.000 unit usaha,” kata Sekjen Kemenperin Haris Munandar.
Sementara itu, merujuk data Badan Pusat Statistik, ekspor kayu dan barang dari kayu pada Januari--Juni 2018 tercatat senilai US$2,15 miliar, tumbuh 14,19% secara tahunan. Sebesar 80% dari produk industri mebel dalam negeri diekspor ke pasar mancanegara.