Bisnis.com, JAKARTA -- Meski outlook pertumbuhan ekonomi Asia tetap kuat, tapi kawasan ini dinilai rentan terhadap pengetatan kondisi finansial global, koreksi pasar yang lebih jauh, dan perubahan menuju kebijakan proteksionisme.
Dalam laporan IMF yang disampaikan Rabu (9/5/2018), pertumbuhan ekonomi Asia diproyeksi mencapai 5,6% pada tahun ini dan tahun depan. Perkiraan itu lebih tinggi 0,1% dari laporan proyeksi terdahulu yang dikeluarkan pada Oktober 2017 dan mencakup dua pertiga dari total pertumbuhan ekonomi global.
Naiknya proyeksi didorong oleh pertumbuhan dan perdagangan global yang kuat dan luas, didukung oleh stimulus fiskal di AS. Namun, dalam jangka panjang, tekanan dari risiko yang ada dinilai lebih besar.
"Asia tetap rentan terhadap pengetatan kondisi finansial global secara tiba-tiba dan tajam, sedangkan di sisi lain periode pelonggaran yang terlalu lama juga berisiko menimbulkan kerentanan finansial dan pinjaman yang lebih besar," sebut IMF, seperti dilansir dari Reuters.
Perubahan situasi, yang dapat dipicu oleh naiknya inflasi secara tiba-tiba di AS atau meningkatnya ketegangan perdagangan AS-China, akhirnya bisa menyebabkan pengetatan kondisi finansial global secara mendadak.
IMF melanjutkan keuntungan globalisasi belum dirasakan dengan merata dan, berkaca pada perang tarif yang belum lama terjadi, pergeseran ke kebijakan proteksionisme menjadi risiko tersendiri dengan potensi munculnya gangguan terhadap perdagangan internasional serta pasar finansial.
Risiko lain yang dihadapi meliputi ketegangan geopolitik, serangan siber, dan perubahan iklim. Jumlah penduduk berusia lanjut juga dapat membebani ekonomi, sedangkan digitalisasi bisa menimbulkan ketidakpastian.
Untuk itu, IMF menyatakan sebagian besar negara Asia harus memperkuat penyangga kebijakan masing-masing.
Saat ini, dengan masih moderatnya tekanan terhadap upah dan harga, kebijakan moneter eksisting bisa tetap akomodatif bagi sebagian besar negara Asia. Namun, bank sentral harus siap menyesuaikan kebijakannya sejalan dengan naiknya inflasi dan harus menggunakan kebijakan makroprudensial untuk menyelaraskan pertumbuhan kredit.