Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Kelautan dan Perikanan diminta meningkatkan kerja sama dengan institusi pengawasan laut lain untuk mengawasi aktivitas pencurian ikan oleh kapal asing di Laut Natuna.
Peneliti Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Nilmawati, mengatakan, walaupun KKP mengklaim telah berhasil menurunkan aktivitas illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing di Laut Natuna, pada kenyataannya sepanjang 2017, terdapat setidaknya 94 pelanggaran pidana perikanan oleh kapal ikan asing. Jumlah itu merupakan angka tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Jenis pelanggaran yang umumnya terjadi adalah memasuki laut teritorial Indonesia dan anak buah kapal asing.
“Pelanggaran perikanan di laut Natuna masih tinggi sehingga KKP dan aparat penegak hukum lainnya perlu tetap konsisten melakukan patroli di sekitar laut Natuna,” kata Nilmawati dalam siaran pers, Kamis (8/2/2018).
Laut Natuna merupakan bagian dari Laut China Selatan dan merupakan wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711 yang memiliki potensi ikan lestari yang cukup besar, yakni mencapai 1,2 juta ton. Selain itu, belum selesainya kesepakatan batas laut Indonesia dengan beberapa negara tetangga di sekitar Laut China Selatan menyebabkan zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan laut teritorial Indonesia rawan dimasuki kapal ikan asing.
DFW melihat Indonesia perlu mendorong peningkatan kerjasama ASEAN untuk menangani IUU fishing dan mengintensifkan forum bilateral dengan negara-negara di kawasan Laut China Selatan agar penanganan kejahatan sektor perikanan bisa diatasi secara bersama-sama.
“Ketidakmampuan nelayan-nelayan lokal memanfaatkan potensi perikanan di perairan ZEE ditambah belum jelasnya batas maritim menjadi pemicu maraknya aktivitas illegal fishing di perairan ini,” lanjut Nilmawati.
Sementara itu, Koordinator Nasional DFW-Indonesia, M. Abdi Suhufan menyampaikan, selain potensi IUU fishing, peningkatan aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan asal pantai utara Jawa di perairan Natuna dan Anambas berpotensi memicu konflik horisontal dengan nelayan lokal.
Kewenangan pengawasan sumber daya laut yang ditarik dari kabupaten/kota ke provinsi menyebabkan pelemahan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi pada zona 12 mil laut. Ini terjadi karena minimnya sarana prasarana pendukung seperti kapal patroli, penyidik pegawai negeri sipil, dan minimnya biaya operasional pengawasan.
Dalam 6 bulan terakhir, nelayan Anambas resah dengan aktvitas nelayan dan kapal ikan asal Tegal, Tanjung Balai Karimun, dan Kijang yang menggunakan alat tangkap mini purse seine (payang) dan melakukan penangkapan di zona 12 mil.
“Ada dua hal sensitif yang kini terjadi di laut Natuna, yakni IUU fishing oleh kapal ikan asing dan aktivitas kapal ikan Indonesia yang melakukan penangkapan di zona 12 mil,” kata Abdi.