Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi logistik dan forwarder Indonesia (ALFI) menyatakan, kegiatan pelayanan kargo impor berstatus less than container load (LCL) tidak berkaitan langsung dengan penghitungan dwelling time di pelabuhan.
Sekum DPW ALFI DKI Jakarta, Adil Karim mengatakan, dwelling time merupakan masa tunggu pelayanan barang sejak masuk hingga keluar pelabuhan terhadap peti kemas berstatus full container load (FCL) dengan indikator pelayanan di pre clearance, custom clearance, dan post clearance.
“Ngawur, kalau dikatakan penanganan kargo impor LCL memengaruhi dwelling time. Kargo LCL itu beda dengan FCL. Hitungannya dari mana bisa memengaruhi dwelling time?.Jadi kalaupun ada fasilitas container freight station atau CFS centre di pelabuhan Priok, hal itu sama sekali tidak untuk memangkas dwelling time sebab tidak ada hubungannya sama sekali,” ujarnya kepada Bisnis, Sabtu (3/2/2017).
Adil mengatakan, berdasarkan laporan anggota ALFI DKI Jakarta, justru sekarang ini pengeluaran kargo impor LCL di fasilitas CFS centre menjadi lebih lambat, lantaran harus masuk dulu ke sistem yang disiapkan pengelola CFS centre.
“Gak ada relevansinya CFS centre bisa mengurangi dwelling time. Coba lihat saja, truk di fasilitas CFS centre tepat di depan gudang Agung Raya itu setiap harinya antre panjang dan mengganggu aktivitas jasa pelabuhan lainnya. Kita mesti fair melihat ini,jangan mengorbankan kepentingan ekonomi nasional yang lebih besar,”paparnya.
Pasalnya, kata dia, jika sistemnya lambat dan sedang ada gangguan, layanan di CFS centre juga menjadi lambat karena forwarder atau yang mewakilinya mesti membayar terlebih dahulu biaya receiving delivery dan mekanis (RDM), kemudian setelah dilakukan pembayaran biaya RDM itu, baru bisa masuk dalam sistem layanan CFS centre tersebut.
“Justru yang dirasakan pebisnis forwarder di CFS centre layanannya jadi lambat. Padahal jika kargo impor LCL itu dilakukan di fasilitas TPS (tempat penimbunan sementara) kawasan pabean Priok, setelah dilakukan pembayaran kargo bisa langsung keluar,” paparnya.
Menurut Adil, kehadiran fasilitas CFS centre di Priok itu, polanya tidak berubah dari layanan yang ada selama ini di fasilitas TPS lini 2. “Yang ada hanya CFS Centre langsung dapat pembayaran sebelum barang keluar. Itu saja yang saya lihat,” tuturnya.
Dia mengatakan, barang impor berstatus LCL merupakan kargo impor yang dimiliki lebih dari satu pemilik/consigne yang dimuat dalam satu kontener, sehingga mesti dikonsolidasikan sebelum di importasi melalui pelabuhan.
Karakteristik kargo impor LCL yang di konsorlidasikan itu tidak pernah berlama-lama menumpuk di pelabuhan, lantaran pihak TPS lini 2 atau forwarder dan consigne-nya biasanya langsung mengajukan pindah lokasi penumpukan atau overbrengen setelah kontener dibongkar dari kapal , karena sebelum kapal tiba forwarder sudah melakukan pecah pos status barang ke pelayaran.
Adil mengungkapkan, barang impor LCL itu masuk ke pelabuhan Priok statusnya conainer yard to container yard (cy to cy), dan dalam hal ini pengelola terminal peti kemas tidak mengetahui statusnya barangnya jika tidak diajukan overbrengen ke TPS lini 2 atas permintaan cargo owner atau freight forwarder..
“Kenapa harus pindah ke TPS lini 2, karena masih ada hak negara yang belum di selesaikan. Jadi pergerakan hendak dikemanakan barang impor LCL itu merupakan domain cargo owner,” tegasnya.
Kegiatan penanganan kargo impor LCL pada fasilitas CFS Centre Priok, mengalami peningkatan dari sebelumnya rerata menangani 10.000-an billing dokumen kargo LCL/bulan kini mencapai lebih dari 12.000-an dokumen/bulan, atau tumbuh sekitar 20%.
Sejak dioperasikan pada 18 Nopember 2017 s/d akhir Januari 2018, fasilitas CFS centre di Pelabuhan Priok, kini mampu melayani 400-an transaksi (billing) layanan pergudangan untuk kargo impor LCL setiap harinya.(K1