Bisnis.com, JAKARTA - Longgarnya pengawasan dari instansi terkait ditengarai menjadi penyebab melambungnya rerata masa inap barang dan peti kemas atau dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok yang lebih dari 4 hari.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengatakan instansi yang terkait dengan kegiatan ekspor impor termasuk kementerian dan lembaga (K/L) di pelabuhan mesti terus memantau pergerakan dwelling time tersebut.
"Jangan menunggu Presiden Joko Widodo kembali turun mengurusi dwelling time seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Otoritas pelabuhan dan K/L terkait mestinya konsisten mengawal dwelling time itu," ujarnya kepada Bisnis pada Senin (29/1/2018).
Menurut Tarigan, saat ini angka dwelling time di setiap pelabuhan bisa diakses secara terbuka oleh masyarakat melaui dashboard online INSW (Indonesia National Single Window], dan seharusnya menjadi perhatian kementerian dan instansi yang berwenang.
Data online dashboard dwelling time INSW, per 29 Januari 2018, menyebutkan masa inap barang dan kontener di Pelabuhan Priok atau dwelling time rata-rata masih 4,75 hari.
Perinciannya, rata-rata dwelling time di Jakarta International Container Terminal (JICT) 4,7 hari, TPK Koja 4,5 hari, New Priok Container Terminal-One (NPCT-1) 4,1 hari, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL) 4,2 hari, dan Terminal 3 Priok 4,7 hari.
Wisnu Waskita, praktisi forwarder dan logistik di Pelabuhan Priok yang juga Komisaris PT Tata Waskita, menilai belum optimalnya fasilitas Container Freight Station (CFS) centre menjadi salah satu penyebab dwelling time untuk impor di Priok naik.
"Padahal fasilitas lapangan CFS centre yang juga bisa menjadi buffer area impor sudah tersedia di Priok dan sistem IT serta single billing-nya sudah didiimplemantasikan.inikan semestinya dioptimalkan oleh semua pelau impor di pelabuhan," ujarnya.
Wisnu mengatakan fasilitas CFS Centre di Priok merupakan komitmen PT Pelabuhan Indonesia II/IPC dalam meningkatkan performance layanan dan tata kelola pelabuhan yang lebih modern agar biaya logistik semakin efisien.
"Maka itu, kami rasa aneh jika masih ada pihak-pihak yang menolak kehadiran fasilitas CFS Centre di Priok. Padahal dengan fasilitas itu, semua kargo impor LCL bisa terdeteksi dengan baik dan tentunya biayanya juga akan efisien," paparnya.
Sejak akhir 2017, Pelindo II mengoperasian fasilitas CFS Centre di Priok yang berlokasi di lapangan eks-gudang Masaji Kargo Tama (MKT) dan Gudang Agung Raya yang saat ini bersebelahan dengan akses masuk utama pos 9 Pelabuhan Tanjung Priok.
CFS Centre di Priok itu kini dioperasikan oleh dua perusahaan penyedia logistik yakni PT Multi Terminal Indonesia (IPC Logistic Services) yang juga merupakan anak usaha PT Pelindo II dan PT Agung Raya Warehouse.
Wisnu mengutarakan dengan pemusatan konsolidasi kargo impor less than container load (LCL) diharapkan layanan tidak semrawut dan pengeluaran/delivery barang lebih cepat sehingga dwelling time bisa lebih dikontrol.
"Selama ini layanan LCL kargo impor itu tersebar di banyak lokasi. Ini menyulitkan dari sisi pengawasan sehingga dwelling time-nya juga tidak bisa dikontrol. Sebagai pelaku usaha kami mendukung adanya penataan di pelabuhan terkait dengan layanan kargo impor LCL dipusatkan ke CFS Centre di Priok," ujarnya.