Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Diskusi Bisnis: Dari Skema Post Border, Biaya Logistik & Dwelling Time Hingga 'Bayi Berjenggot' (Live Report)

Ikuti live report diskusi bertajuk Menagih Nawacita: Penguatan Industri untuk Menciptakan Kemandirian Ekonomi, yang digelar pada Selasa (19/9) di Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta.
Jakarta International Container Terminal (JICT) di Tanjung Priok, Jakarta/Reuters-Beawiharta
Jakarta International Container Terminal (JICT) di Tanjung Priok, Jakarta/Reuters-Beawiharta
Live Timeline

Bisnis.com, JAKARTA - Bisnis Indonesia menggelar diskusi mengenai dampak membanjirnya produk impor terhadap industri dalam negeri. Diskusi bertajuk "Menagih Nawacita: Penguatan Industri untuk Menciptakan Kemandirian Ekonomi" ini digelar Selasa (19/9) di Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta.

Hadir sebagai pembicara antara lain: Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional Harjanto, Ekonom Faisal Basri, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri, dan Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Donny Purnomo. Hadir pula para stakeholders dan perwakilan asosiasi di bidang industri dan impor.

Diskusi berjalan dinamis dengan berbagai pandangan dan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah, termasuk isu post border yang dinilai bukan solusi tepat dalam menekan dwelling time di pelabuhan, bahkan justru memacu kenaikan biaya logistik.

Bahkan, Ekonom Faisal Basri berpandangan skema post border hanya memindahkan rumitnya proses pengawasan barang ke luar pos kepabeanan. Skema ini hanya dipakai untuk 'menyenangkan' Presiden Jokowi dengan seolah-olah dwelling time menurun, padahal memindahkan masalah ke tempat yang lain dan justru meningkatkan biaya logistik. 

Dalam isu yang lain, Dirjen Harjanto berpendapat industri nasional memerlukan keberpihakan kebijakan, bukan perlindungan dari pemerintah, agar lebih kuat bersaing. Perlindungan hanya akan menjadikan industri nasional seperti "bayi berjenggot", yang kerap menjadi anekdot karena menggantungkan diri pada proteksi. 

Karena itu perlu membangun kebijakan non-tariff measures atau langkah-langkah kebijakan non tarif yang memihak kepada penguatan industri nasional.  

Berikut ini adalah laporan lengkap dinamika jalannya diskusi tersebut:

12:46 WIB
Arif Budimanta: Pembuatan Kebijakan Harus Libatkan Stakeholders

Arif Budimanta menyatakan pembuatan policy mesti melibatkan stakeholders. Dia menyampaikan hal itu menanggapi pertanyaan dan pandangan para pelaku bisnis peserta diskusi. Dengan melibatkan stakeholders terutama pelaku industri diharapkan kebijakan akan lebih efektif.

Di sisi lain, ia juga menekankan kepada para pelaku usaha agar mau mengubah paradigma bisnisnya. Ia menilai adanya gejala sulitnya melakukan perubahan karena suasana "comfort zone" yang terbangun cukup lama, padahal industri sudah berubah dengan cepat. (ab/Bisnis)

12:37 WIB
Faisal Basri: Skema Post Border Hanya Mengakali Dwelling Time

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri berpandangan penyederhanaan pengawasan barang menjadi skema post border merupakan kebijakan yang didesain seolah untuk menurunkan dwelling time.

Padahal, skema tersebut hanya memindahkan rumitnya proses pengawasan barang ke luar pos kepabeanan dan semakin meningkatkan biaya logisitik.

“Betul dwell time turun di pelabuhan, tapi itu hanya dipindah ke gudang luar. Orang nyatanya cost logistic malah naik kok,” ujarnya  (Nuriman)

12:30 WIB
Moderator Mengatur Jalannya Diskusi Lebih Fokus

Wapemred Bisnis Indonesia Chamdan Purwoko, selaku moderator diskusi, mengarahkan pembicaraan narasumber supaya lebih fokus. Para peserta dari kalangan asosiasi dan dunia usaha menggugat kebijakan pemerintah yang kerap tidak melibatkan dunia usaha, didisain dan dilaksanakan secara parsial sehingga mengganggu sektor lain atau menciptakan persoalan baru. (ab/Bisnis)

12:26 WIB
Industri Dalam Negeri Berkontribusi Besar Terhadap Perekonomian Nasional

Pengusaha yang lainnya Setiawan Surakusumah, Chief of Strategic & Tech Committee IISIA mempertanyakan sektor industri nasional yang dianggap memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.(ab/Bisnis)

12:17 WIB
Kadin DKI: Pemerintah Harus Berpihak Pada Industri Dalam Negeri

Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin DKI Jakarta Rainer P. Tobing menyampaikan pandangan dan mengharapkan Pemerintah tak boleh ragu dan harus punya keberpihakan terhadap industri dalam negeri dan pengusaha nasional, katanya. (ab/Bisnis).

12:10 WIB
Produsen Baja Tuntut Kesetaraan Pengawasan

Produsen baja lokal mengungkapkan selama ini pelaku usaha lokal berhadapan dengan unfair trade produk baja impor asal China yang lolos dengan praktik pengalihan kode HS kepabeanan.

Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesia Iron and Steel Industry Association/IISIA) Hidayat Triseputro menginginkan ada kesetaraan perlakuan terhadap produk impor dan baja produksi lokal.

“China melakukan unfair trade itu jelas, akibatnya dalam lima tahun terakhir produsen baja Indonesia suffer. Kalau dulu modusnya baja impor hindari kode HS dengan menambah chrome, sekarang itu baja China ditambahkan boron untuk menghindari bea masuk,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ‘Menagih Nawacita: Penguatan Industri untuk Menciptakan Kemandirian Ekonomi‘ di Wisma Bisnis Indonesia, Selasa (19/9).

Menurutnnya Indonesua sempat menjadi nett exporter baja sebelum krisis 1998. Praktek dumping baja China terus terjadi hingga akibatnya produsen baja Indonesia sulit meraup seluruh pasar domestik.

“Sebelum reformasi kita masih mengekspor ke Bangladesh Amerika dan sebagainya. Setelah China mulai melakukan unfair trade kontrol terhadap barang impor begitu longgar. Selisih barang impor dengan produk lokal bisa 20% lebih. Proyek infrastruktur pemerintah larinya pakai produk produk baja impor,” ujarnya. (Nuriman Jayabuana)

12:02 WIB
Pengusaha Ginsi Keberatan Terhadap Regulasi Baru Impor Baja

Pelaku usaha yang lain dari Ginsi, Erwin Taufan menyampaikan keberatan terhadap rencana regulasi baru terkait impor baja. Ia juga menekankan banyaknya hambatan impor baru yang menambah biaya logistik dan mengakibatkan beberapa komoditas termasuk buah 'hilang' di pasaran.   (ab)

11:55 WIB
Direktur Eksekutif IISIA Menyampaikan Pandangan & Pertanyaan

Hidajat Triseputro, Direktur Eksekutif Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA), mewakili peserta menyampaikan pandangan dan pertanyaan dalam diskusi. Ia berharap adanya keberpihakan dalam kebijakan pemerintah terhadap pelaku industri nasional.(ab/Bisnis)

11:31 WIB
Kekuatan Industri Domestik Kunci Tembus Pasar Internasional

Industri domestik yang kuat menjadi kunci untuk menembus pasar internasional.

Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi Badan Standardisasi Nasional (BSN) Donny Purnomo menjelaskan negara maju biasanya memberlakukan hambatan nontarif yang cukup sulit ditembus. Oleh karena itu, diperlukan kesiapan industri agar dapat menembus standar yang diberlakukan.

Donny mencontohkan negoisasi ekspor kayu lapis ke Amerika Serikat mempersyaratkan sejumlah standar yang cukup rumit. Salah satunya mewajibkan pelaku usaha untuk membuka kantor perwakilan di Negeri Paman Sam.

“Standar memang bukan segalanya tetapi standar merupakan bagian dari strategi dagang dan pengembangan industri,” paparnya.

Dia menambahkan saat ini diperlukan penciptaan iklim industri nasional yang kuat dan berkembang. Standardisasi menurutnya menjadi salah satu aspek pendukung terciptanya hal tersebut.

BSN menargetkan memberikan standar nasional indonesia (SNI) 90 kepada pelaku usaha kecil menengah sepanjang 2017. BSN tengah mendorong UKM agar lebih inovatif dan mengedepankan produksi barang yang berkualitas dan aman.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah melakukan pendampingan kepada pelaku UKM untuk mengembangkan produk ekspor melalui Indonesia Design Development Center (IDDC). Lewat IDDC, pelaku usaha dipertemukan dengan desainer, akademisi, dan stakeholder lain yang bisa membantu meningkatkan nilai tambah produk serta pengetahuan ekspor. (M. Nurhadi)

11:27 WIB
Manufaktur Lokal Tertekan Produk Impor

Pemerintah menganggap keterbatasan pasar ekspor menjadi salah satu persoalan yang menekan produktivitas manufaktur lokal.

Dirjen Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Harjanto menyatakan berbagai free trade agreement yang dijalin Indonesia kerap tidak menjamin kesetaraan perlakuan produk lokal RI.

“Berbagai instrument bukan hanya soal tarif tapi juga nontarif. Market kita sebenarnya luar biasa untuk masuk ke pasar ekspor, maka Uni Eropa mulai mengganggu dengan menetapkan ratusan non-tariff measures dalam dua tahun terakhir,” ujarnya.

Di sisi lain, Indonesia memang berada di tengah rantai produksi global sehingga tak mungkin membentengi akses kepada produk impor. Menurutnya, negara seperti Indoa justru menetapkan minimum import price terhadap barang impor.“Tapi giliran kita keluarkan safeguard saja itu susah sekali. Kalau demikian, bagaimana kita bisa melindungi industri dalam negeri?

Kondisi demikian membuat Indonesia sulit mengundang lebih banyak mengundang investasi ke sektor manufaktur. Sebab penetapan tarif bea masuk terhadap barang impor ditetapkan begitu longgar. “Tarif bea masuk terlalu rendah, dengan demikian mana ada investor yang punya appetite masuk kalau ceiling dan floor tariff ditetapkan sebegitu rendah. Kita sendiri masih memasang tarif yang sangat terbuka bagi produk impor,” ujarnya.

Menurutnya, kebijakan impor mestinya perlu diperketat pada kategori barang konsumsi dan barang modal. Sementara impor bahan baku mesti dipermudah. (Nuriman)

11:27 WIB
Faisal Basri: Negara Hanya Istimewakan BUMN, Swasta Dilupakan

Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan sulit bagi industri domestik meningkatkan daya saing selama pemerintah hanya mengutamakan insentif bagi perusahaan pelat merah.

Kecenderungan itu tergambar dalam skema penyaluran insentif revisi harga gas bagi industri stratagis senilai US$6 per MMTBU.

“Perlakukan kelas satu di negara ini hanya buat BUMN, swastanya dilupakan. Sampai sekarang belum ada industri strategis non BUMN yang menikmati harga gas US$6 per MMBTU,” ujarnya.

Sebelumnya, industri menunggu realisasi revisi harga gas industri sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Safiun menyatakan belum ada industri yang memperoleh harga gas senilai US$6 per MMBTU. “Sampai kemudian industri capek sendiri,” ujarnya. (Nuriman)

11:24 WIB
Faisal Basri: Kebijakan Pemerintah Kurang Ramah Investasi

Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Faisal Basri menilai pemerintah begitu berambisi mengundang lebih banyak realisasi investasi masuk. Hanya saja niatan tersebut dilakukan tanpa memberikan jaminan kenyamanan investasi.

“Jadi menurut saya jangan mimpi dulu bisa mengundang banyak investor baru, kalau mempertahankan investor yang sudah ada saja enggak bisa,” ujarnya.

Sebab, menurutnya, pemerintah justru banyak menerapkan kebijakan yang memperberat industri. Salah satunya dengan memperketat aturan lelang impor gula rafinasi. Padahal, industri makanan minuman yang berkontribusi sebesar 33% terhadap keseluruhan manufaktur RI begitu bergantung terhadap pasokan gula rafinasi.

“Negara mau mengharapkan ayam terus bertelur, tapi ayam itu dibikin stres dengan berbagai aturan macam-macam. Lama-lama mereka bisa enggak tahan, gampang saja bagi Coca Cola, Nestle atau apalah untuk tinggal memindahkan fasilitas produksinya ke Malaysia,” ujarnya. (Nuriman)

11:11 WIB
Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta Jelaskan Strategi Klaster Industri yang Baru

Arif Budimanta, Wakil Ketua KEIN (kedua kiri) memberikan paparan tentang re-clustering industrialisasi di Indonesia. Ia menjelaskan kemajuan industri Jerman berkat orientasi menuju industry 4.0, yang berbasis pada otomasi, digitalisasi, produktivitas dan daya saing.

Menurut Arif, KEIN telah menyampaikan masukan kepada Presiden Jokowi untuk fokus pada empat klaster industri, yakni industri berbasis agro, industri berbasis maritim, industri berbasis pariwisata dan industri kreatif. (ab/Bisnis)

11:00 WIB
Stabilisasi Harga Bahan Pokok Diyakini Tekan Pengeluaran

Stabilisasi harga pangan dinilai dapat menekan pengeluaran sehingga berujung pada meningkatnya daya saing Indonesia.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri menjelaskan, menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga pangan pokok dan barang penting menjadi bagian kontribusi dari Kemendag untuk mewujudkan Nawacita.

“Dalam menjaga ketersediaan pasokan dan stabiliasasi harga barang kebutuhan pokok tentu berharap dengan inflasi terkendali akan mengerek cost yang lain,” jelasnya.

Menurut catatan Bisnis, terdapat empat langkah yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pasokan bahan pokok. Pertama, yakni dengan penguatan regulasi.

Kedua, untuk penatalaksanaan, Kemendag juga melakukan koordinasi dengan beberapa instansi serta membuat nota kesepahaman dengan distributor dan pelaku usaha. Salah satunya adalah kesepakatan harga eceran tertinggi (HET) di ritel modern untuk gula, daging, dan minyak goreng sederhana serta HET beras.

Ketiga, dilakukan pemantauan harga dan pasokan bahan pokok di 165 pasar rakyat dan 10 pasar induk. Rapat koordinasi juga telah dilakukan di 34 provinsi Indonesia. Terakhir, langkah yang dilakukan adalah dengan melakukan sejumlah upaya khusus seperti gerakan stabilisasi harga pangan bekerja sama dengan Perum Bulog. (Nurhadi)

10:53 WIB
Perkuat Peran Industri, Akses Bahan Baku Impor Dipermudah

Pemerintah menyederhanakan sejumlah aturan terkait impor bahan baku dan modal yang nantinya diyakini bakal mendongkrak kinerja industri.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri mengungkapkan pemerintah saat ini sudah memulai penyederhanaan tata niaga ekspor-impor. Hal itu menyangkut kemudahan bagi akses bahan baku dan barang modal melalui impor.

“Dari sisi impor, impor barang modal bahan baku dan berkualitas dapat mendorong produktivitas dalam negeri,” ujarnya.

Seperti diketahui, dalam Paket Kebijakan Ekonomi ke-15 tentang Pengembangan Usaha dan Daya Saing Penyedia Jasa Logistik menyertakan poin penyederhanaan tata niaga untuk mendukung kelancaran arus barang. Selain itu, persentase 19% dinilai pemerintah telah mendekati rata-rata hambatan nontarif negara-negara Asean sebesar 17%.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan latar belakang diluncurkan paket kebijakan tersebut antara lain untuk perbaikan sistem logistik nasional untuk mempercepat pengembangan usaha dan daya saing penyedia jasa logistik nasional. Pasalnya, porsi biaya logistik menyumbang sekitar 40% dari harga ritel barang.

Kebijakan tersebut meliputi beberapa poin termasuk penyerdehanaan tata niaga lartas dan juga penguatan peran INSW. Pemerintah telah merevisi tiga perpres menyangkut INSW yang disatukan menjadi satu perpres untuk mempercepat pengembangan dan penerapan pelayanan otomasi perizinan ekspor-impor, kepabeanan, dan kepelabuhanan melalui penguatan kelembagaan serta kewenangan INSW.

10:44 WIB
Dirjen Harjanto Berikan Pemaparan Penguatan Industri

Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional Harjanto (tengah) memberikan pemaparannya. Ia mengatakan industri nasional memerlukan keberpihakan kebijakan, bukan perlindungan dari pemerintah. Ini bertujuan agar industri nasional lebih kuat bersaing, bukan karena dilindungi oleh pemerintah namun tetap lemah. Ini anekdot yang kerap dipakai dengan istilah "bayi berjenggot". 

Karena itu perlu membangun kebijakan non-tariff measures atau langkah-langkah kebijakan non tarif yang memihak kepada pembangunan dan penguatan industri nasional.  

10:33 WIB
Faisal Basri: Industrialisasi Satu-Satunya Jalan Keluar Melawan Jebakan Komoditas

Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Faisal Basri menganggap industrialisasi merupakan satu-satunya jalan bagi Indonesia untuk meredam ketergantungan terhadap komoditas.

“Dari era tahun 50-an sampai sampai sekarang kita masih ngomongnya soal komoditas melulu, tergambar dari struktur ekspor kita yang masih cukup mengandalkan komoditas. Padahal, industrialisasi merupakan salah satu langkah yang dapat mengatasi ketergantungan Indonesia terhadap naik turunnya komoditas,” ujarnya.

Menurut Faisal, industrialisasi merupakan suatu keharusan bagi Indonesia untuk memperkuat struktur ekonomi domestik. Penguatan manufaktur juga merupakan langkah paling efektif untuk mendongkrak jumlah penduduk kelas menengah. Sebab penyerapan tenaga kerja Indonesia masih didominasi sektor pertanian.

Ekonomi Indonesia bertopang terhadap kinerja manufaktur yang peranannya lebih tinggi dibanding sektor lain dalam pembentukan PDB. Hanya saja, kontribusi manufaktur terhadap ekonomi nasional terus meredup selepas era krisis 1998.

Peranan manufaktur terhadap ekonomi RI mencapai 29,05% pada 2001. Angka itu terus menyusut hingga akhirnya hanya menjadi sebesar 20,26% pada semester pertama 2017.

Sebagai perbandingan, peranan manufaktur dalam ekonomi pada negara-negara Asia Timur dan Pasifik kebanyakan melebihi Indonesia. Peranan manufaktur terhadap ekonomi China dan Korea Selatan mencapai 29,7%. Sementara itu, sumbangan manufaktur terhadap ekonomi Malaysia dan Thailand masing-masing sebesar 30,9% dan 31,1%.

Perlambatan sektor manufaktur di Indonesia justru bertolak belakang dengan pesatnya laju pertumbuhan sektor jasa. Peranan sektor jasa bahkan sudah melampaui 50% PDB sejak 2010. Pada semester pertama 2017, peranan sektor jasa terhadap ekonomi nasional sudah mencapai 58,2%.

Periode pertumbuhan pesat sektor manufaktur berlangsung ketika era 60—70an dengan rerata pertumbuhan sebesar 11,6% per tahun. Pada periode tersebut, rerata pertumbuhan ekonomi RI mencapai 8,1%.

Bahkan, manufaktur semakin terakselerasi pada era 70—80an tatkala pertumbuhan industri hampir dua kali lipat dibanding pertumbuhan PDB. Rerata pertumbuhan manufaktur kala itu tercatat sebesar 14,2% per tahun. Pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu yang sama mencapai 7,5% setiap tahun.

Hanya saja, era kejayaan manufaktur RI bertolak belakang dengan situasi saat ini. Sebab pertumbuhan manufaktur Indonesia selalu bergerak di bawah angka pertumbuhan ekonomi sejak 2005. Pengecualian terhadap kecenderungan itu hanya terjadi pada 2011 tatkala pertumbuhan manufaktur berdiri sejajar dengan pertumbuhan industri.

10:28 WIB
Kepala BP3 Kemendag Kasan Muhri Jelaskan Kebijakan Impor

Kepala BP3 Kementerian Perdagangan Kasan Muhri (tengah) memberikan paparan soal kebijakan impor dalam diskusi bertajuk "Menagih Nawacita: Penguatan Industri untuk Menciptakan Kemandirian Ekonomi".

10:08 WIB
Faisal Basri Menjadi Pembicara Pertama Dalam Diskusi

Ekonom Faisal Basri memberikan pemaparannya dalam Diskusi Menagih Nawacita: Penguatan Industri untuk Menciptakan Kemandirian Ekonomi yang digelar di Wisma Bisnis Indonesia.

Diskusi dihadiri oleh Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri, Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin Harjanto, Wakil Ketua KEIN Arief Budimanta, Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi Badan Sertifikasi Nasional (BSN) Donny Purnomo.

10:03 WIB
Diskusi Menagih Nawacita Dimulai

Diskusi “Menagih Nawacita: Penguatan Industri untuk Menciptakan Kemandirian Ekonomi” dimulai. Diskusi dipimpin oleh Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia Chamdan Purwoko (kiri) dengan para panelis yang hadir Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri, Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin Harjanto, Wakil Ketua KEIN Arief Budimanta, Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi Badan Sertifikasi Nasional (BSN) Donny Purnomo, serta Ekonom Faisal Basri.

09:58 WIB
Selama Ini Industri Kurang Menjadi Sorotan

Diskusi “Menagih Nawacita: Penguatan Industri untuk Menciptakan Kemandirian Ekonomi” dibuka dengan sambutan dari Direktur Pemberitaan Harian Bisnis Indonesia Arif Budisusilo. Dalam sambutannya, dia menekankan selama ini topik tentang industri kurang menjadi sorotan dibandingkan dengan topik lain seperti isu sosial politik.

“Dengan adanya diskusi ini diharapkan bisa keluar solusi yang konkrit untuk memperkuat ekonomi,” ujarnya.

Arif menjelaskan sejumlah isu yang berkembang seperti aturan importasi baja yang baru bakal dibahas dalam diskusi. Implikasi dari beleid tersebut akan dibedah oleh para narasumber yang hadir.

Adapun diskusi dihadiri oleh Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri, Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin Harjanto, Wakil Ketua KEIN Arief Budimanta, Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi Badan Sertifikasi Nasional (BSN) Donny Purnomo, serta Ekonom Faisal Basri.

09:51 WIB
Dirjen Ketahanan & Pengembangan Akses Industri Internasional Harjanto Wakili Menperin

Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional Harjanto menyampaikan keynote speech mewakili Menperin Airlangga Hartarto dalam Diskusi yang bertajuk "Menagih Nawacita: Penguatan Industri untuk Menciptakan Kemandirian Ekonomi".

Hadir sebagai pembicara Ekonom Faisal Basri, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri, dan Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Donny Purnomo.

09:34 WIB
Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia Beri Sambutan

Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia Arif Budisusilo memberikan sambutan dalam pembukaan diskusi dengan tema "Menagih Nawacita: Penguatan Industri untuk Menciptakan Kemandirian Ekonomi".

Dengan tema tersebut, forum salah satunya akan secara fokus membahas dampak positif dan negatif dari kebijakan pemerintah yang akan mempermudah impor besi atau baja, baja paduan, dan produk turunannya dengan tonase kurang dari satu ton serta mengubah proses pengawasan menjadi di luar kawasan pabean.

Ketentuan itu akan tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 63 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 82 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya.

Dalam rancangan Permendag 63 Tahun 2017 yang diperoleh Bisnis, disebutkan bahwa pemeriksaan terhadap impor komoditas itu dilakukan setelah melalui kawasan pabean dan tidak mewajibkan hasil verifikasi atau penelusuran teknis dalam bentuk Laporan Surveyor (LS) sebagai dokumen pelengkap pabean. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 12A yang merupakan salah satu poin penambahan dari aturan sebelumnya.

Sebelumnya, proses pengawasan dilakukan sebelum barang melintas di kawasan pabean dan mewajibkan LS sebagai dokumen pelengkap. Aturan pengawasan tertuang dalam Pasal 12B yang menyebutkan bahwa proses pemeriksaan terhadap impor dilakukan di gudang atau tempat penyimpanan sebelum komoditas itu digunakan oleh importir.

Dalam proses pengawasan, importir diwajibkan mengajukan permohonan pemeriksaan secara tertulis terhadap besi atau baja, baja paduan, dan produk turunannya yang telah diimpor kepada Direktur Impor Kementerian perdagangan.

Sejumlah bukti persyaratan yang wajib dilampirkan antara lain bukti penguasaan gudang atau tempat penyimpanan, persetujuan impor, laporan surveyor, serta surat perintah pengeluaran barang yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.

Muncul pendapat bahwa sebaiknya pengawasan tetap dipegang oleh Bea Cukai, bukan di gudang importir agar efektif dalam mengawasi arus barang masuk.

Selain mengubah proses pengawasan, beleid tersebut memberikan kelonggaran bagi importasi produk besi atau baja, baja paduan, dan produk turunannya dengan volume impor kurang dari satu ton. Penegasan itu tertuang dalam Pasal 22 Ayat 1e dan Ayat 2b.

Baja dan turunannya adalah salah satu komoditas yang akan mendapatkan kemudahan impor. selanjutnya akan diatur juga untuk komoditas lainnya seperti tekstil dan produk tekstil serta komoditas lainnya.


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper