Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produk Impor Baja & Keramik Kian Banjiri Pasar

Gencarnya produk impor asal memaksa produsen keramik lokal mengoperasikan pabrik dengan utilisasi rendah.
Proses produksi di pabrik milik PT Krakatau Steel/Antara
Proses produksi di pabrik milik PT Krakatau Steel/Antara

JAKARTA—Pabrikan baja dan keramik lokal masih menghadapi ketatnya persaingan dengan produk impor yang membanjiri pasar domestik.

Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesian Iron and Steel Association/IISIA) Hidayat Triseputro menyatakan tekanan baja impor asal China sebenarnya mulai mereda dalam dua bulan terakhir seiring dengan penguatan permintaan domestik negara tersebut.

Menurutnya, impor baja pada volume tertentu memang tak terhindarkan lantaran kapasitas terpasang nasional belum mampu mengimbangi seluruh permintaan domestik. Sebagai gambaran, permintaan baja di Indonesia pada tahun lalu mencapai 12 juta ton. Pasokan baja impor memenuhi lebih dari separuh angka permintaan tersebut.

“Impor pada level tertentu memang tak bisa ditahan, tapi idealnya sebagian besar demand lokal bisa terpenuhi dari produsen baja lokal,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (12/9).

Utilisasi pabrikan baja lokal berada pada posisi rendah dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, kapasitas terpasang pabrikan baja lokal mencapai 8 juta ton—9 juta ton per tahun.

Penyebabnya, terdapat ketidakselarasan bea masukyang memungkinkan pabrikan baja China kerap melakukan unfair trade. Baja merupakan salah satu komoditas yang pengawasan kepabeanannya tergolong paling rumit. Terutama, produk baja yang secara kasat mata serupa bisa saja merujuk kepada kode HS kepabeanan yang berbeda.

Penetapan tarif import duty terhadap masing-masing jenis baja kerap tidak selaras satu sama lain. Umpamanya, baja karbon impor untuk sektor konstruksi terkena bea masuk sebesar 10%—15%. Sementara, bea masuk bagi komoditas alloy steel atau baja paduan impor hanya 0%—15%.

Perbedaan kedua jenis baja itu sebatas pada komposisi materialnya saja. Baja paduan merupakan hasil pencampuran baja karbon dengan lapisan boron. Praktis, perbedaan baja karbon dan baja paduan sulit teridentifikasi secara kasat mata.

Praktik Curang

Akibatnya, banyak pabrikan baja China yang terlebih dulu mencampurkan produknya dengan boron untuk menghindari bea masuk di Indonesia. “Itu mengapa diperlukan harmonisasi tarif bea masuk baja,” ujarnya.

Terlebih, masih banyak lagi produk baja hilir yang terbebas sama sekali dari pengenaan bea masuk. Menurutnya, proteksi terhadap baja impor baru sebatas diterapkan pada produk hulu. “Sementara produk baja hilir betul-betul dikuasai barang impor dengan harga unfair,” ujarnya.

Badan Pusat Statistik mencatat volume impor besi dan baja year-to-date Januari—Juli 2017 mencapai 7,09 juta ton senilai US$4,16 miliar. Volume impor tersebut turun 5% dibandingkan Januari—Juli tahun lalu sebanyak 7,48 juta ton dengan nilai US$3,35 miliar.

Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia Elisa Sinaga menyatakan gencarnya produk impor asal memaksa produsen keramik lokal mengoperasikan pabrik dengan utilisasi rendah.

Bahkan, tak sedikit produsen keramik yang mulai menghentikan produksi dan beralih menjadi trader barang impor. “Produsen lokal sudah dua tiga tahun terakhir semakin sulit bersaing dengan produk China,” ujarnya.

Menurutnya, utilisasi pabrikan lokal kini hanya mencapai 60% dari kapasitas terpasang sebesar 570 juta meter persegi per tahun. Padahal tingkat keterpakaian pabrikan pernah mencapai 95% dari kapasitas terpasang pada lima tahun silam. Elisa menyatakan sejak 2014 laju kenaikan volume impor keramik setiap tahun mencapai 20%. Produk asal China mendominasi keramik impor yang memenuhi pasar domestik.

Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan menyatakan impor memang tak terhindarkan selama kapasitas terpasang industri memang belum mencapai titik permintaaan. Hanya saja, pengetatan pengawasan merupakan langkah utama yang perlu dilakukan untuk melindungi industri lokal.

Ekonom Universitas Padjadjaran Ina Primiana menyatakan melepas ketergantungan produk impor perlu dilakukan dengan memperkuat daya saing dan memberikan perlindungan kepada industri. Pemerintah mesti berperan sebagai motor pendorong yang meningkatkan penyerapan produksi industri dalam negeri.

Misalnya, setiap tender pengadaan barang pemerintah atau BUMN perlu betul-betul mengoptimalkan aturan local content. Pemerintah perlu lebih memprioritaskan penyerapan produk industri dalam negeri ketimbang menyerap barang impor yang lebih murah. “Barang impor yang diperbolehkan itu mestinya hanya bagi yang memang sama sekali tidak diproduksi di dalam negeri,” ujarnya.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Rahayuningsih
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper