Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah daerah diminta mempersiapkan aturan kuota angkutan berbasis online menyusul revisi Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, sepakat dengan adanya sejumlah temuan bahwa transportasi berbasis aplikasi ini mengefisiensikan biaya transportasi terutama dengan beberapa program misalnya transportasi ride sharing antarpenumpang.
“Setuju [ride-sharing], dan cukup daerah saja yang membuat aturan kuota, dalam bentuk perda [peraturan daerah] misalnya,” ucap Djoko kepada Bisnis pada Selasa (6/6/2017).
Dia mengatakan saat ini pebisnis angkutan umum di daerah memang kurang berminat membuka bisnis bus AKDP, angkutan pedesaan dan angkutan perkotaan.
Menurutnya, ada kebijakan makro yang tidak mendukung dan tidak sinkron antara pertumbuhan kendaraan bermotor untuk peningkatan pajak dengan angkutan massal untuk lingkungan dan penghematan energi.
“Juga ada pembiaran izin antar jemput antar provinsi [AJAP] atau travel yang melebihi 20%,” tuturnya.
Kehadiran AJAP dahulu sama halnya dengan angkutan online saat ini. Djoko menilai dulu AJAP bisa tumbuh karena keinginan pengguna jasa terhadap angkutan dengan aksesibilitas lebih misalnya terminal atau stasiun kurang nyaman dan strategis.
Sekarang, penumpang telah mendapatkan kemudahan dalam menemukan angkutan yang murah dan nyaman.
“Jadi ke depannya, bisa jadi karena makin terpuruk angkutan umum, kepala daerah merasa warganya sudah bisa dilayani dengan transportasi. Jangan biarkan angkutan umum malah makin terpuruk di daerah. Peran pemerintah pusat sangat besar untuk mengambil alih pengelolaan transportasi umum di daerah,” ungkap Djoko.
Dia menegaskan transportasi identik dengan pendapatan asli daerah (PAD). Oleh sebab itu, pemda berorientasi pada transportasi sebagai profit yang dihasilkan, bukan manfaat yang diberikan.