Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia meminta Jepang lebih meningkatkan investasi di sektor industri baja hulu, seperti produk crude steel (baja kasar) baik dalam bentuk slab (lembaran) maupun billet (batangan).
Doddy Rahadi, Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan, pada 2016 Jepang merupakan investor terbesar kedua di Indonesia dengan nilai mencapai USD5,4 miliar. Namun penanaman modal lebih banyak di sektor infrastruktur pembangkit listrik dan alat transportasi massal.
“Kemenperin tengah memacu program industri prioritas nasional, antara lain sektor ship building, otomotif, permesinan, dan logam dasar sehingga kebutuhan besi baja dalam negeri meningkat seiring juga dengan pembangunan infrastruktur,” ungkap Doddy menurut siaran pers, Jumat (19/5)
Doddy berharap investasi baru dari Jepang bisa menjadikan Indonesia sebagai basis manufaktur yang siap memasuki pasar domestik, Asean, dan dunia.
“Kami memberikan apresiasi kepada PT Krakatau Nippon Steel Sumikin, PT Krakatau Osaka Steel, dan PT JFE Steel Galvanizing Indonesia yang telah berinvestasi di sektor industri baja hulu terutama untuk memenuhi pasar domestik,” ujarnya ketika dalam acara Indonesia-Japan 7th Steel Dialogue di Yogyakarta, Jumat (19/5).
Terkait dengan investasi, pemerintah Indonesia memberikan kemudahan bagi para investor yang menanamkan modalnya di Indonesia. Keringanan tersebut antara lain dalam bentuk keringanan pajak berupa tax holiday dan tax allowance serta bea masuk untuk mesin produksi dan bahan baku.
“Kami juga berusaha untuk memberikan fasilitas user specific duty free scheme (USDFS) kepada PT. Krakatau Nippon Steel Sumikin dan PT. JFE Steel Galvanizing Indonesia,” imbuh Doddy.
Dengan kemitraan Indonesia dan Jepang yang semakin kuat dalam membangun industri baja, diharapkan dapat mengambil manfaat pasar regional yang sejalan dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean.
“Berdasarkan data kami, sampai dengan 2019, secara total Asean memerlukan lebih dari US$1 triliun untuk membangun infrastruktur,” paparnya.
Selain potensi pasar Asean, Indonesia memerlukan sekitar US$235 miliar untuk pembangunan infrastruktur dan perumahan sehingga membuat kebutuhan besi dan baja konstruksi meningkat 8,5% per tahun.
Dalam upaya menambah investasi sektor industri baja, Kemenperin mendorong program pengembangan klaster industri baja di Cilegon, Banten agar mampu memproduksi 10 juta ton baja pada 2025.
Selain itu, Kemenperin menargetkan dalam waktu lima tahun ke depan, telah tersedia empat juta ton baja stainless dari kawasan industri Morowali, Sulawesi Tengah.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, industri logam disebut sebagai mother of industry karena produk logam dasar merupakan bahan baku utama bagi kegiatan sektor industri lain, ataranya industri otomotif, maritim, elektronika, serta permesinan dan peralatan pabrik.
“Penggunaan bahan baku logam domestik terus ditingkatkan untuk pemanfaatan secara optimal di industri hilir,” ujarnya.
Kemenperin untuk itu memacu pengembangan dan daya saing industri logam berbasis sumber daya lokal karena prospek sektor induk ini di masa mendatang masih cukup potensial.
Dalam upaya melindungi dan mendorong pertumbuhan industri logam nasional, Kemenperin juga telah mendorong pemberlakuan SNI wajib. Selain itu, pelaksanaan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
Upaya ini demi mengamankan pasar domestik, mengurangi ketergantungan produk impor, serta meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri.
Selain peningkatan investasi Jepang di sektor industri, diharapkan terjalin kerja sama di bidang pendidikan vokasi industri. Upaya ini untuk meningkatkan kompetensi SDM di Indonesia sehingga siap kerja sesuai kebutuhan di lapangan.
“Seperti perusahaan otomotif Jepang yang memberikan pelatihan kepada para tenaga kerja lokal. Ini juga bisa dilakukan di sektor lainnya,” sebut Airlangga.
Takanari Yamashita Director Metal Industries Division Manufacturing Industries Bureau – Ministry of Economy, Trade and Industry (METI) mengatakan, Indonesia merupakan mitra penting bagi Jepang di segala bidang, khususnya sektor industri.
Hal ini ditunjukkan dari kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe ke Indonesia pada Januari lalu yang membawa 30 CEO perusahaan besar asal Jepang untuk menjajaki kerja sama dengan pengusaha lokal.
“Menurut JETRO, sebanyak 1.533 perusahaan Jepang sudah berinvestasi di Indonesia dengan nilai mencapai USD26,6 miliar,” ungkapnya.
Yamashita memberikan apresiasi kepada pemerintah Indonesia yang terus menciptakan iklim usaha kondusif melalui deregulasi dan paket kebijakan ekonomi sehingga mampu menarik investor luar negeri dan memudahkan dalam menjalankan bisnis.
“Perusahaan Jepang sangat memperhatikan pertumbuhan industri di Indonesia, dan ingin agar Indonesia tetap menarik sebagai tujuan investasi,” ujarnya.
Hidayat Triseputro, Direktur Eksekutif Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA), mengungkapkan perkiraan pertumbuhan industri baja pada triwulan kedua tahun ini akan lebih tinggi, yakni sebesar 6%-9% daripada triwulan pertama.
"Program infrastruktur akan menjadi pendorong permintaan baja pada triwulan kedua. Apalagi, pemerintah juga menargetkan beberapa proyek jalan maupun tol selesai sebelum Lebaran," sebut Hidayat.
Menurutnya, baja untuk konstruksi berkontribusi 70% terhadap permintaan baja domestik. Permintaan datang dari industri otomotif sebagai hasil dari kebijakan low cost and green car (LCGC) dan galangan kapal dengan adanya program Tol Laut.
"Sektor otomotif membantu untuk mendorong permintaan lantaran menjelang Lebaran pasti penjualan kendaraan bermotor mengalami kenaikan," jelasnya.
Hidayat menuturkan pertumbuhan permintaan baja dapat dinikmati industri lokal jika pemerintah membatasi baja impor terutama dari Tiongkok. Untuk itu, pemerintah perlu tegas menerapkan program P3DN dan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN).
I Gusti Putu Suryawirawan Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin menyatakan dalam pengembangan industri baja di dalam negeri, Kemenperin terus berupaya memperkuat struktur industri, menjalin kerja sama untuk penumbuhan industri hulu, meningkatkan kapasitas produksi karena kebutuhan meningkat.
“Tiap tahun, permintaan baja di dalam negeri mencapai 12 juta ton, dan pertumbuhan baja mengikuti pertumbuhan ekonomi. Artinya, kebutuhan baja juga meningkat, untuk selanjutnya harus bisa mengantisipasi pertumbuhan industrinya,” imbuh Putu.
Putu mengutarakan pihaknya bersama stakeholder terkait tengah berupaya untuk mengendalikan impor besi dan baja. Sebab adanya impor di sektor hilir industri besi dan baja membuat spekulan tumbuh subur.
“Produk besi dan baja sangat dimungkinkan untuk ditimbun. Hal itulah yang menjadi peluang bagi spekulan untuk melancarkan aksinya,” tambahnya.
Menurut Putu, jika impor besi dan baja tidak dikontrol dan semakin besar, akan membahayakan keberlangsungan industri hulu di dalam negeri. Para investor pun enggan untuk berinvestasi di sektor ini jika harga pasar dikendalikan oleh para spekulan.