Bisnis.com, JAKARTA - PT Jakarta Internasional Container Terminal (JICT) menyatakan bahwa aksi unjuk rasa Serikat Pekerja JICT yang, Kamis (6/4) yang menuntut penolakan perpanjangan kontrak antara Pelindo II dengan Hutchinson Port Holding (HPH) sudah mulai mengkhawatirkan.
Pasalnya, selain menyuarakan aspirasi, aksi unjuk rasa sudah mulai melakukan penyegelan Kantor Direksi JICT dan juga mengancam keselamatan secara fisik terhadap direksi JICT, terutama yang berkewarganegaraan asing sehingga perlu jaminan keamanan pemerintah.
Hal tersebut seperti Direktur Operasional PT JICT Kim Changsu, seorang warga berkewarganegaraan Korea yang telah bekerja di salah satu terminal petikemas terbaik di Asia tersebut selama 10 tahun.
"Saya ingin kerja di sini dengan aman, karena keluarga saya sudah nyaman, anak saya juga sekolah di sini. Saya sudah sepuluh tahun di Indonesia. Jadi saya ingin situasi ini kembali kondusif dan bisnis kembali berjalan normal," ujarnya, Kamis (6/5).
Dirinya merasa bahwa saat ini keselamatan jiwanya sudah mulai terancam, karena berbagai bentuk intimidasi sudah diterimanya. Bahkan, saat ini dirinya harus menggunakan pengawal pribadi, tidak seperti sebelum-sebelumnya.
Kim menerangkan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh SP JICT dinilai sudah melewati batas, karena yang diserang sudah mulai personal seseorang.
Dirinya bahkan mengaku pernah suatu ketika sedang berada di kantornya di Kelapa Gading, tiba-tiba didatangi petugas dan digiring dengan jalan kaki menuju ke kantor Imigrasi Jakarta Utara lantaran tidak bisa menunjukkan paspornya.
Sementara, paspor sedang di Imigrasi Jakarta Selatan, karena sedang dalam proses perpanjangan KITAS (Kartu Izin Tinggal Sementara).
"Perlakuan dengan jalan kaki ini bahkan di foto dan disebar luaskan. Ini kan sudah sangat intimidatif," ujarnya. Atas hal itu pun, dirinya juga sudah mulai menghubungi konsulat untuk bertanya-tanya tentang perlindungan warga negara di sini.
Pada aksi anarkis yang berlangsung sejak Kamis pagi, Kim juga merasakan adanya ancaman yang berulang. Kim berharap ada jaminan keamanan dari pemerintah untuk para pekerja asing. Hal ini sejalan dengan gerakan dari pemerintah untuk menggalakkan investasi asing di Indonesia.
Sikap anarkis yang dilakukan oleh SP JICT ini dilakukan sehari setelah rapat antara Board Of Director (BOD) JICT dan SP JICT tidak mencapai kesepakatan terkait tiga hal yang dituntut SP JICT.
Tiga hal yang dituntut SP meliputi, yakni Pertama, SP JICT meminta BOD JICT untuk segera menyetujui Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2016-2018 yang telah disampaikan oleh SP. Dalam PKB tersebut tercantum bahwa SP JICT meminta kenaikan kesejahteraan seluruh karyawan JICT sebesar USD 6,95 juta atau lebih dari Rp 100 miliar.
Kedua, SP JICT meminta Direksi JICT untuk membayarkan bonus tahunan 2016 sesuai PKB sebesar 7,8% dari keuntungan sebelum pajak. Dan Ketiga, SP JICT menuntut Direksi JICT untuk membayarkan dana Program Tabungan Investasi (PTI) tahun 2016.
Terhadap ketiga tuntutan tadi, BOD JICT tidak memenuhi seluruh permintaan SP JICT. Terkait dengan PKB 2016-2018 BOD berketetapan untuk menggunakan PKB yang berlaku pada 2013-2015. Tambahan kenaikan gaji dan tunjangan hingga lebih dari Rp 100 miliar tidak tercantum dalam PKB 2013-2015.
Mengenai bonus tahun 2016, BOD JICT sebenarnya bersedia membayar bonus sesuai PKB sebesar 7,8% dari keuntungan sebelum pajak. Namun SP memaksa untuk mendapatkan bonus yang lebih besar.
Sementara menyangkut program tabungan investasi (PTI) 2016, BOD tidak dapat membayarkan, karena target yang telah disepakati dengan SP JICT sebagai dasar pembayaran PTI tidak terpenuhi.
"Target produktifitas sebesar 31 mph (month per hour). Dan untuk mendapatkan PTI, minimal harus 26,5 mph, tapi itupun tidak tercapai, hanya tercapai 26,01 mph," ujarnya.
Menurutnya selama ini karyawan JICT juga merupakan karyawan dengan gaji tertinggi di Indonesia. Untuk level operator mendapatkan THP sebesar Rp50 juta, manager Rp80 juta dan senior manager bisa mencapai lebih dari Rp100 juta.
Siswanto Rusdi, Direktur Nasional Maritime Institute (Namarine) menilai bahwa sebaiknya SP JICT tidak memaksakan kehendak.
"SP JICT merasa yang paling nasionalis, paling menjaga keuangan negara. Namun di sisi lain SP JICT tidak pernah mau diaudit dana Program Tabungan Investasi (PTI) yang diberikan JICT kepada Koperasi JICT," ujarnya.
Pasalnya, PTI merupakan dana kompensasi yang diberikan kepada koperasi karyawan oleh Pelindo II dan Hutchinson selaku pengelola JICT, sehingga ada dana negara di sana, sehingga publik harus mengetahui.
"Harus ada audit independen dari luar, ratusan miliar itu bukan dana kecil. Bagaimana mungkin dana besar tidak melibatkan audit independen di Kopkar JICT?," ujarnya.
Rusdi juga heran pihak Kopkar menolak audit dengan alasan pihak manajemen JICT tidak ada dalam perjanjian.
"Silakan buka perjanjian antara manajemen dan SP dalam pembentukan Kopkar, publikasikan agar semua jelas sesuai dengan prinsip-prinsip good Corporate governance, terutama prinsip transparansi dan akuntabilitas," ujarnya.