Bisnis.com, JAKARTA – Produsen peralatan penunjang industri minyak dan gas bumi menilai pola insentif konten lokal di akan efektif.
Willem Siahaya, menjabat sebagai Direktur Ketua Dewan Pimpinan Bidang Industri Gabungan Usaha Penunjang Energi dan Migas, menilai kontrol kewajiban tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) lewat insentif tidak efektif.
“Kami pikir mereka akan memilih enggak menggunakan bonus itu daripada repot-repot urus TKDN. Mereka lebih baik pakai barang sendiri, atur sendiri karena porsinya kecil,” katanya usai bertemu Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Senin (13/2/2017).
Dia meminta pemerintah tetap menerapkan pelarangan impor yang tertuang dalam Permenperin no. 3/2014. Produk yang sudah diproduksi industri, memenuhi persyaratan teknis, dan kapasitas produksinya memadai tidak boleh diimpor.
Perubahan pola bagi hasil migas menjadi sistem gross split menghapus mekanisme cost recovery yang diandalkan pemerintah untuk mengontrol kandungan lokal dalam proyek migas.
Pada pola yang baru, pemerintah memberikan insentif bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang berhasil memenuhi tingkat kandungan dalam negeri.
Pemenuhan TKDN 30%—50% mendapatkan tambahan insentif bagi hasil sebesar 2%, TKDN 50%—70% diganjar insentif tambahan 3%, sedangkan TKDN di atas 70% dapat tambahan 4%.
Willem mengatakan produsen lokal membutuhkan perlindungan pemerintah karena beban produsen dan importir dalam bisnis pengadaan peralatan penunjang timpang. Dia mengklaim beban pajak dan bea masuk produsen saat ini 43% lebih tinggi dari importir.
Kondisi tersebut menyebabkan barang yang diproduksi oleh industri lokal biasanya lebih tinggi 10% dari produk impor. Ketimpangan diperparah oleh tindakan dumping oleh produsen dari China.
“Produk dalam negeri tidak dipakai kira-kira 10% pekerja sudah dirumahkan. Sejak 2013, yang tadinya tiga shift kerja sekarang cuma satu shift,” kata Willem.