Bisnis.com, JAKARTA — Industri makanan dan minuman tidak siap menjalankan kewajiban sertifikasi produk halal.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gappmi) Adhi Lukman mengatakan industri makanan dan minuman tidak siap menjalankan UU no. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Dia mengklaim ketentuan dalam beleid tersebut yang mewajibkan seluruh produk yang beredar di masyarakat bersertifikasi halal pada Oktober 2019 mustahil diterapkan.
“Sekarang yang siap hanya sebagian kecil. Bukan hanya industri kecil [yang tidak siap], yang menengah juga banyak belum bersertifikat halal. Nanti jika mereka belum punya sertifikat, enggak bisa jual produknya. Bisa dipidana,” kata Adhi usai CEO Gathering Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman di Kementerian Perindustrian, Kamis (19/1/2017).
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto mengatakan proses menerbitkan sertifikasi halal seluruh produk makanan dan minuman tidak akan selesai dalam puluhan tahun.
Dia tidak ingin pewajiban seluruh produk yang beredar bersertifikat halal pada Oktober 2019 mengganggu iklim usaha, apalagi industri makanan dan minuman adalah motor utama industri nasional.
“Ini masalahnya soal waktu, biaya, kesiapan, hingga produk yang terlalu luas dan segmentasi usaha yang terlalu menyeluruh. Kami dari awalnya memang mewacanakan sukarela,” kata Panggah.
Pasal 67 ayat (1) UU no. 33/2014 menyatakan kewajiban sertfikasi halal bagi produk yang beredar di Indonesia berlaku lima tahun sejak UU diterbitkan pada Oktober 2014.
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama indonesia (MUI) mencatat hingga 2015 terdapat 35.962 sertifikat halal yang telah dikeluarkan untuk 33.905 perusahaan. Adapun total produk halal yang terdaftar adalah sebanyak 309.115.
Jumah tersebut hanya sebagian kecil dari 1,25 juta perusahaan industri makanan dan minuman yang menurut BPS beroperasi di Indonesia pada 2014.