JAKARTA—Penurunan produksi biji kakao nasional dan pengenaan pajak pertambahan nilai memaksa 10 pabrik cokelat berhenti berproduksi.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya mengatakan kendala pengadaan bahan baku memaksa pabrik-pabrik pengolahan kakao berhenti beroperasi.
Pabrik-pabrik yang berhenti beroperasi kebanyakan adalah perusahaan penanaman modal dalam negeri berkapasitas kecil yang kesulitan bersaing memperebutkan pasokan bijih kakao dari perkebunan lokal.
Gelombang penghentian produksi terjadi sejak 2014. Pemicunya adalah kebijakan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas komoditas. Pengenaan PPN tersebut membuat perusahaan industri pengolahan kakao harus menyediakan modal kerja 10% lebih besar.
Perusahaan-perusahaan yang keadaan permodalannya kurang kuat dan kesulitan mengakses biji kakao impor terpaksa berhenti berproduksi.
“Mereka ini kapasitasnya kecil. Akibat beban itu mereka kalah bersaing dengan industri berkapasitas besar. Produksi biji kakao di Indonesia juga turun terus,” kata Sindra, Selasa (22/11).
Sindra mengatakan perusahaan yang masih melanjutkan produksi juga tidak bisa berproduksi optimal. Utilisasi rata-rata sebelas perusahaan yang masih beroperasi hanya sekitar 50%.
Produsen di Indonesia harus berebut pasokan biji kakao dengan produsen lain di seluruh dunia. Kondisi tersebut akibat permasalahan bahan baku terjadi secara global akibat cuaca ekstrem kering yang berlanjut dengan cuaca ekstrem basah.
Namun, produsen pengolahan biji kakao di Indonesia lebih kesulitan dibandingkan dengan produsen di luar negeri akibat kebijakan Kementerian Pertanian.
Kementan mewajibkan pangan segar yang diimpor ke Indonesia, termasuk Indonesia, telah melalui pemeriksaan laboratorium di negara asal. Laboratorium di negara asal harus mengantongi sertifikat dari Badan Karantina Pertanian Kementan.
Ketentuan tersebut membuat produsen pengolahan kakao tidak bisa mengimpor biji kakao dari Pantai Gading dan Ghana yang belum memiliki fasilitas laboratorium yang diinginkan Kementan.
Relaksasi
Aturan dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 5/2015 tersebut sebetulnya telah direlaksasi melalui Permentan No. 13/2016. Permasalahannya, relaksasi hanya berlaku enam bulan dan aturan sertifikasi kembali berlaku pada Oktober 2016.
“Industri enggak bisa impor jadi kemungkinannya tahun ini akan turun lagi. Jadi ada Permentan ini selain dihambat produksinya turun terus,” kata Sindra.
Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang memperkirakan tahun ini produksi biji kakao Indonesia cuma mencapai 370.000 ton. Produksi terus merosot setelah sempat memuncak pada volume 620.000 ton pada 2006. Sementara, kebutuhan pabrik pengolahan mencapai 850.000 ton per tahun.
Produksi rendah karena produktivitas tanaman kakao Indonesia rendah. Produksi satu hektare perkebunan kakao di Indonesia tiap tahun hanya sektar 400 kilogram jauh di bawah level optimal sebanyak 1,5 juta ton.
Produktivitas yang rendah membuat petani beralih ke komoditas lain seperti jagung, lada, kelapa sawit atau padi sehingga laju penurunan produksi kakao semakin tajam.
“Petaninya kurang merawat tanaman dengan benar. Tanamannya tidak terpelihara, tidak terawat, tidak dipangkas,” kata Zulhefi.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian, Willem Petrus Riwu mengatakan utilisasi yang sudah merosot hingga 50% menunjukkan industri pengolahan kakao sudah sangat tertekan.
Pada level produksi tersebut, jelasnya, perusahaan hanya meneruskan produksi untuk menutup biaya operasional tetap seperti tenaga kerja atau listrik.
“Solusinya produksi kakao harus ditingkatkan dan selama produksinya belum cukup tolong impor jangan dihambat. Jika mereka enggak produksi tenaga kerjanya bagaimana?” kata Willem.