Bisnis.com, JAKARTA – Komite Kebijakan Industri Pertahanan tidak pernah ikut campur dalam pengadaan persenjataan. Tugas komite adalah memastikan pengadaan mendukung industri pertahanan nasional.
Ketua Tim Pelaksana KKIP, Soemardjono, mengatakan aturan soal pengadaan dan perawatan alat persenjataan bertujuan untuk menciptakan industri pertahanan yang mandiri.
Dia menegaskan KKIP tidak akan ikut campur menentukan spesifikasi dan jenis alat persenjataan dalam proses pengadaan. Namun, KKIP tetap melaksanakan amanat UU dengan memastikan pengadaan senjata sinkron dengan upaya membangun industri pertahanan.
“Tugas KKIP itu di sini. Keterlibatan kami dalam [evaluasi] pengadaan agar bagaimana bisa membuat industri pertahanan kita semakin maju. Kami tidak pernah ikut campur dalam pengadaan,” kata Soemardjono, Kamis (10/11/2016).
Pemetaan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KPIP) menunjukkan industri pertahanan dalam negeri sudah mampu memproduksi 40% dari 1.200 jenis kebutuhan alat persenjataan baru seperti produk pakaian anti peluru, pistol, hingga kapal tempur.
Produk yang belum bisa diproduksi di dalam negeri akan dipenuhi lewat penelitan & pengembangan nasional (13%), pengembangan bersama (10%), produksi patungan (10%), dan impor (27%).
UU no. 16/2012 tentang Industri Pertahanan menyatakan pembelian alat persenjataan dari luar negeri harus memenuhi persyaratan imbal dagang, kandungan lokal dan ofset.
Indonesia harus mendapatkan imbal dagang, kandungan lokal, dan ofset paling sedikit 85% dari nilai pengadaan alat persenjataan impor.
Imbal dagang merupakan perjanjian agar negara penjual senjata berkomitmen membeli komoditas dengan nilai total yang setara dari Indonesia
Adapun ofset merupakan kompensasi dari negara penjual atau produsen misalnya dalam bentuk pembangunan industri MRO, produksi bersama, alih teknologi, hingga mengambil industri nasional sebagai salah satu rantai pasok global.