Bisnis.com JAKARTA – Produsen serat dan benang mengeluhkan tingginya impor kain yang telah berdampak pada penutupan beberapa pabrik.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan pada periode Januari-Juli 2015-2016 menunjukan pertumbuhan impor kain berada diatas 50%, bahkan untuk kain rajut impornya naik 87%.
Berdasarkan data badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan impor kain jenis tenun polyester staple, tenun polyester filament, kain rajut polyester, dan kain rajut lainnya pada periode 2015-2016 masing-masing 52,3%, 60,3%, 56,5%, dan 87,8%.
Impor kain hanya dapat dilakukan oleh produsen sebagai bahan baku dan tidak dapat dipindah tangankan seperti diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Permendag No.85/2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.
Masalahnya, dia menduga banyak importir menjual bahan bakunya, padahal izin yang dikantongi adalah izin produsen.
“Ada sekitar 50 importir, tapi 10 terbesar sudah mengimpor sekitar 40% dari total impor. Total impor bisa sampai 87.000 ton. Akhirnya sekarang [pabrik] pada tiarap terutama yang di daerah Jawa Barat,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (2/11/2016).
Dia mengungkapkan, ada sekitar tiga perusahaan yang memindahkan pabriknya ke Vietnam, lima pabrik tutup, dan dua pabrik sedang ditawarkan untuk dijual.
Redma menyatakan, bahwa saat ini utilisasi produksi nasional untuk benang dan kain sudah berada dibawah 50%, padahal pada semester I/2016 utilitas pabrik serat tercatat masih 70%, sementara bulan ini utilitas pabrik benang sekitar 60%.
“Ada perusahaan yang impornya naik hingga 2.000%, 4.000% bahkan hingga 7.000%. Masak iya mereka bisa menaikkan kapasitas produksi hingga sebesar itu dalam sekejap” tegasnya.
Hingga saat ini, penetrasi barang impor yang masuk mencapai 40% dari konsumsi sebesar 1,3 juta ton benang pintal dan filamen. Hal itu diperparah dengan harga barang impor yang lebih murah hingga 25% dari barang lokal.