Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mengeluhkan implementasi short sea shipping yang tidak memperlihatkan hasil maksimal akibat kurangnya dukungan pemerintah.
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menyesalkan kurangnya perhatian pemerintah terkait dengan implementasi short sea shipping yang salah tujuannya adalah sebagai komponen pendukung tol laut.
“Kita mempunyai gagasan yang baik tapi memang akhir-akhir ini tidak berjalan seperti yang diharapkan,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (18/2/2016).
Awalnya, ALFI mengira Pelni yang akan didorong untuk menjalankan short sea shiping (SSS), namun hasilnya bertolak belakang.
Menurutnya, SSS justru seolah hanya penyeberangan lintasan saja, padahal maksud tujuan pelayaran ini berfungsi sebagai pengalihan beban angkut transportasi dari moda jalan atau darat ke laut, konsekuensi yang ditanggung Indonesia sebagai negara kepulauan.
Kenyataannya, dia menilai tarif angkutan barang jalur laut dengan SSS dan pelayaran lainnya justru lebih mahal ketimbang moda darat dengan truk. Hal ini, lanjutnya, disebabkan oleh mahalnya biaya kepelabuhanan di Indonesia.
Dia mencontohkan, tarif kepelabuhanan seperti terminal handling charge (THC) yang tinggi justru merontokan minat pengusaha untuk menarik pasar muatan SSS. “THC kita masih tertinggi di Asean,” tegasnya.
Oleh sebab itu, dia mengaku tidak heran jika akhirnya SSS yang diinisiasi oleh BUMN pelabuhan dengan rute Pelabuhan Panjang-Tanjung Perak harus tutup.
Melihat kenyataan ini, dia meminta agar SSS yang sudah digagas dan dikaji dengan matang perlu mendapatkan dukungan insentif dan regulasi dan insentif. Dalam hal insentif, Yukki mengatakan dukungan BUMN pelabuhan dalam memberikan tarif khusus kepada SSS dapat membantu.
Kemudian, tarif khusus ini diperkuat dengan kebijakan regulasi dari pemerintah. “Untuk Pelindo I-IV itu harus ada peraturan dari pemerintah. Takutnya, kementerian teknisnya atau Kementerian Perhubungan mendorong, lalu Kementerian BUMN-nya tidak setuju.”