Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah negara Asean seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, dikabarkan akan mengikuti jejak pemerintah Indonesia untuk membuka data-data sistem pemantauan kapal ikan (VMS) kepada Global Fishing Watch (GFW).
GFW merupakan konsorsium penyedia perangkat visualisasi pergerakan kapal yang terdiri dari Google Earth Outreach, Sky Truth, dan Oceana.
Kepala Hubungan Pemerintahan PT Google Indonesia Shinto Nugroho mengatakan tiga negara tersebut terinspirasi dengan langkah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang pada Oktober 2015 menggandeng GFW. Dengan membuka VMS, pergerakan kapal ikan di laut negara bersangkutan bisa dipantau oleh para pengguna Internet.
“Karena langkah Ibu Susi, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang membuka VMS kepada orang banyak. Sekarang pemerintah Malaysia, Vietnam, dan Thailand pun ingin bergabung dengan GWF,” katanya dalam acara diskusi Combatting Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing di Jakarta, hari ini, Rabu (27/1/2016).
GFW menyediakan perangkat visualisasi aktivitas pergerakan kapal global berbasis sistem identifikasi otomatis (AIS). Dengan menggabungkan data VMS dan AIS maka visualiasi pergerakan kapal penangkapan ikan bisa dilihat di Google Earth dan Google Maps.
AIS dirancang sebagai platform keamanan bagi kapal agar terhindar dari tabrakan di laut. Sistem itu menampilkan secara cukup akurat a.l identitas kapal, lokasi, kecepatan, hingga arah tujuan kapal.
Sementara VMS dikenal sebagai sistem pematauan yang diwajibkan pemerintah kepada perusahaan penangkapan ikan komersial. Dalam sistem GFW, data-data VMS terhubung secara komputasi awan.
Shinto mengatakan pendanaan GFW tidak hanya berasal dari anggota konsorsium, tetapi juga dari organisasi nonpemerintah hingga sosok-sosok terkemuka. Salah satunya adalah aktor film Hollywood, Leonardo DiCaprio.
Saat ini, kata Shinto, anggota GFW menyiapkan dana hingga US$8 juta untuk pengembangkan teknologi GFW agar mendekati ideal. Menurut dia, sistem pelacakan berbasis internet tersebut dapat membantu negara-negara di dunia untuk memberantas praktik IUU Fishing.
“Kalau boleh dibilang peran Google dalam GFW ini kecil. Tapi kami akan terus membantu mengembangkannya,” tuturnya.
RESTU KEMKOMINFO
Salah salah isu yang sempat mengemuka dalam pembukaan data VMS tersebut adalah keamanan informasi nasional. Faktor inilah yang ditengarai membuat baru segelintir negara saja yang bersedia membuka data VMS kepada GFW.
Namun, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Bambang Heru Tjahjono memastikan data-data VMS termasuk kategori informasi pemerintah yang dapat diakses oleh masyarakat. Pembukaan data VMS, menurut dia, sesuai dengan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
“Informasi terkait VMS ini bukanlah termasuk informasi publik yang dikecualikan untuk dibuka seperti tercantum dalam UU KIP,” ujarnya.
Bambang berujar informasi publik tidak boleh dibuka jika dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional, berpotensi membahayakan pertahanan dan keamanan negara, serta mengganggu perlindungan usaha tidak sehat. Informasi publik juga tidak boleh diakses oleh khalayak bila dapat menghambat proses penegakan hukum.
“Namun, kami menilai informasi VMS ini malah digunakan untuk memudahkan proses penegakan hukum terkait IUU Fishing,” ujarnya.
Di sisi lain, kerja sama KKP-Google juga tidak melanggar UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam PP No. 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE)—yang merupakan turunan UU ITE—disebutkan data-data kepentingan publik wajib disimpan dalam server yang berlokasi di Indonesia.
Kendati bekerja sama dengan Google, Bambang mengatakan informasi VMS tetap disimpan dalam server pemerintah di Indonesia. Selain itu, Google juga tidak memproduksi data tetapi menggunakan data yang sudah ada.
“Jadi terkait hal ini, kami berpendapat tidak bertentangan dengan prinsip kedaulatan data seperti diatur dalam PP PSTE,” ujarnya.