Bisnis.com, JAKARTA- Pemerintah perlu menyiapkan payung hukum bagi lembaga pembiayaan di sektor kelautan karena mayoritas lembaga keuangan seperti sektor perbankan sulit diakses oleh para nelayan di Indonesia.
Berdasarkan kajian Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB), 70% hingga 90% nelayan yang melakukan penangkapan ikan di laut menggunakan modal sendiri guna membiaya kegiatan operasionalnya. Sementara itu bagi nelayan pembudidaya hasil laut dan menggunakan modal sendiri, persentasenya besar yakni mencapai 93% hingga 98%.
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB Arif Satria mengatakan mayoritas nelayan terpaksa menggunakan modal sendiri untuk membiaya kegiatan operasionalnya karena mereka kesulitan mengakses sektor keuangan yang tersedia saat ini.
“Perbankan kurang kompetibel misalkan jam operasinya tidak seirama dengan jam kerja nelayan. Mikro finance kompatibel tapi suku bunganya tinggi,” teraangnya,” Jumat (4/12).
Dari data kredit perikanan, lanjutnya, mayoritas kredit masih diakses oleh sektor industri perikanan yakni sejak 2011 hingga 2015 rata-rata berada di atas 76%. Sementara untuk penangkapan setiap tahun hanya berkisar 0,29%.
Menurutnya, rendahnya kredit perikanan dikarenakan beberapa sebab yakni sektor tersebut masih dianggap penuh risiko dan ketidakpastian. Di samping itu belum berkembangnya asuransi perikanan, serta rendahnya kompatibilitas sistem perbankan dan rendahnya keanggotaan nelayan dalam badan hukum koperasi.
Berdasarkan data-data tersebut, menurutnya, pembentukan lembaga pembiayaan nelayan yang kompatibel dan bisa menyesuaikan dengan pola kerja nelayan dianggap menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di bidang perikanan.
Dia mencontohkan sebuah lembaga keuangan mikro di Kalimantan mau membiayai operasional nelayan dengan membuka kantor pada malam dan pagi hari ketika nelayan kembali dari melaut. Tidak hanya itu, lembaga tersebut juga cukup fleksibel menerima pengembalian pinjaman tanpa dikenakan penalti.