Bisnis.com, JAKARTA — Skema perkebunan plasma dinilai dapat mendongkrak pendapatan petani bila dilakukan dengan mengedepankan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan (sustainability).
Perkebunan plasma merupakan konsep kemitraan antara perusahaan kepala sawit dengan masyarakat. Bila perusahaan menggarap perkebunan inti, petani disediakan lahan plasma sebesar 2 hektare (ha) per orang.
Ketua Umum Koperasi Unit Desa Bersama Makmur, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Mujiono mengatakan anggotanya mendapatkan jatah pengelolaan perkebunan plasma dari PT Hindoli.
Dia mengatakan kemitraan dengan anak usaha raksasa sawit asal Singapura, Cargill Pte Ltd, itu membuat anggotanya mendapat beberapa fasilitas dan pelatihan seperti teknologi, keuangan, hingga transparansi harga. Hasilnya, harga tandan buah sawit (TBS) dihargai hingga Rp1.200 per kilogram atau lebih tinggi 50% dibandingkan petani swadaya.
“Pendapatan rata-rata kami sekitar Rp66 juta per tahun. Kalau pendapatan per kapita Indonesia kan Rp41,8 juta. Jadi kami 58% lebih tinggi dari rata-rata orang Indonesia,” katanya dalam acara diskusi di Jakarta, hari ini, Kamis (3/12/2015).
KUD Bersama Makmur beranggotakan 366 petani dan mengelola 734 hektare (ha) lahan sawit di sekitar konsesi PT Hindoli. Aset koperasi itu diklaim mencapai Rp17,4 miliar. Tahun lalu produktivitas lahan anggota koperasi mencapai 21,8 ton per ha per tahun.
Mujiono mengatakan keberhasilan anggotanya itu tidak terlepas dari implementasi praktik-praktik perkebunan sawit berkelanjutan yang dibuktikan dengan sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
“Kalau sebelum RSPO kami semprot racun hama lebih banyak. Padahal ini berbahaya bagi lingkungan,” tuturnya.
Cargill Pte Ltd, induk usaha PT Hindoli sendiri merupakan salah satu deklarator Indonesia Palm Oil Pledge atau IPOP. Selain Cargill, deklarator lainnya adalah raksasa-raksasa sawit seperti Wilmar, GAR, Asian Agri, dan Musim Mas.
Kelima perusahaan mengklaim akan mewujudkan industri kelapa sawit yang berkelanjutan dengan tidak melakukan deforestasi atau pembabatan hutan.
Namun, Kementerian Pertanian menganggap implementasi IPOP justru mengancam kesejahteraan petani. Pasalnya, lima perusahaan tidak lagi mau menerima TBS-TBS petani yang dianggap berasal dari ekspoitasi yang merusak ekosistem hutan dan lingkungan.