Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PENCATUTAN NAMA PRESIDEN: Kasus Setnov Jadi Pintu Masuk Tata Ulang Investasi

Kasus dugaan permintaan saham oleh Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) yang mencuat dalam renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI) harus menjadi pintu masuk menata ulang investasi di Indonesia.
Penambangan Freeport di Papua/Antara-Puspa Perwitasari
Penambangan Freeport di Papua/Antara-Puspa Perwitasari

Bisnis.com, JAKARTA--Kasus dugaan permintaan saham oleh Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) yang mencuat dalam renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI) harus menjadi pintu masuk menata ulang investasi di Indonesia.

"Saya menduga kisruh PTFI adalah satu contoh saja. Pada sektor-sektor lain hampir bisa dipastikan bahwa alokasi saham untuk pejabat pemberi izin, rekomendasi, dan akses itu terjadi," kata Ketua Setara Institute dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (25/11/2015).

Hendardi menambahkan, sektor-sektor sumber daya alam diduga paling rentan selain sektor perkebunan dan kehutanan untuk penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat negara.

Untuk itu, lanjut Hendardi, pemerintah bisa menggunakan momentum kisruh PTFI ini untuk menata ulang tata kelola investasi bisnis yang mengutamakan kepentingan rakyat.

"Untuk memulai penataan ini, sidang MKD atas Setnov selain terbuka, juga mesti dipastikan melibatkan unsur masyarakat yang kredibel, sesuai mandat Tatib DPR," katanya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan bahwa kegaduhan politik terkait isu Papa Minta Saham harus dijadikan sebagai momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki pengelolalaan perusahaan asing di Indonesia.

Selama 48 tahun kontrak karya PT Freeport Indonesia, kata dia, tidak mendatangkan keuntungan apa-apa bagi rakyat Indonesia.

"Yang terjadi justru adalah sebaliknya, Indonesia merugi akibat ulah Freeport dan pejabat yang mau disogok," kata Rizal Ramli dalam dialog di sebuah televisi nasional baru-baru ini.

Karena selama ini, kontrak dengan perusahaan asing, khususnya Freeport yang sudah beroperasi selama 48 tahun di Indonesia hanya memberikan royalti 1 persen, padahal perusahaan lain sudah 4% hingga 5%, ujarnya.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper