Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri serat polyester meminta pemerintah memperpanjang pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping untuk menyelamatkan kondisi industri yang kesulitan bersaing akibat unfair trade.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wirawasta menjelaskan bahwa selama sejak 2012, industri polyester mengalami penurunan yang signifikan akibat produk impor dumping asal China, India dan Taiwan. Pada saat ini, utilitas produksi hanya berkisar 50%-60% dengan kondisi dua dari delapan pabrik telah berhenti beroperasi.
“Tahun lalu itu ada lima perusahaan dari China yang 0%. Tahun ini, KADI [Komite Anti Dumping Indonesia] mengatakan bahwa tiga dari itu terbukti dumping. Kami harap kalau rekomendasi BMAD ini dilanjutkan, kondisi industri bisa membaik,” ujarnya pada Bisnis.com, Minggu (15/11/2015).
Sama seperti pemberlakuan BMAD sebelumnya, KADI mengusulkan agar persenan bea masuk ditetapkan 28% untuk Taiwan, 5%-16% untuk India dan 0%-13% untuk China, dengan catatan pemberlakuan 0% bagi China hanya berlaku untuk dua perusahaan dari yang sebelumnya lima perusahaan.
Dia mengatakan bahwa pada dasarnya industri Tanah Air masih bisa bersaing dengan produk impor, baik dari sisi harga maupun kualitas. Yang menjadi kendala hanyalah praktik unfair trade. Menurutnya, Kementerian Perindustrian telah memahami kondisi tersebut. Meski demikian, keputusan tetap berada dalam keputusan bersama antara Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Ekonomi dan Bappenas.
Menurutnya, industri hilir tekstil tidak perlu mengkhawatirkan pemberlanjutan BMAD sebab impor tetap bisa dilakukan dari beberapa eksportir yang tidak terbukti melakukan dumping, baik dari China maupun dari negara lain seperti Korea Selatan, Thailand, atau Malaysia.
Saat ini, kapasitas terpasang produksi serat polyester nasional mencapai 830.000 ton per tahun dengan kebutuhan rerata 700.000 ton per tahun. Adapun perkiraan produksi tahun ini hanya berkisar 400.000 ton.