Bisnis.com, JAKARTA -- Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkar Merah Putih Nasional (LMPN) akan membangun pabrik pengolahan jagung, yang menggunakan teknologi produksi penggilingan basah berkapasitas 300 ton pipilan jagung kering per hari, di Lombok dengan investasi miliaran rupiah dan diprediksi beroperasi pada 2017.
Ketua Umum LMPN Endang Rahayu Natadipura mengatakan wadah diperkirakan dapat menyerap hasil produksi jagung petani di NTB dan sampai NTT. Saat ini, pasokan terbesar masih dari kelompok yang terdiri dari 5.000 petani jagung di Dompu. "Belum termasuk dari Sumbawa dan sekitarnya," kata Endang melalui siaran persnya di Jakarta, Jumat (13/11/2015).
“Sementara ini, kami akan lebih fokus di zona hulu. Di mana kami akan berusaha untuk memastikan peningkatan produktivitas dan kualitas para petani dengan penerapan manajemen rantai pasok yang unggul,” tutur Ramlee Ibrahim, Presiden Direktur PT Putraprimia Holdings, selaku perusahaan induk yang akan membiayai pengembangan industri tersebut.
Endang berharap pengembangan ini, visi menggabungkan para petanikecil agar mandiri dan lebih sadar pada potensi yang mereka miliki untuk menjadi setaraf dengan badan usaha berskala besar. Dengan usaha bersama ini diharapkan akan terwujud wawasan yang diperjuangkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta untuk terciptanya satu ekonomi yang inklusif berbasis kebersamaan.
"Siapa bilang petani tidak berkemampuan? Kita lihat saja nanti, ini bukan lagi PHP,” ujar Endang Rahayu.
Menurut dia, sebagian petani yang tinggal di daerah pedesaan hingga kini masih banyak yang masih miskin karena peningkatan produksi hanya dinikmati oleh pihak lain di luar petani, seperti pedagang dan konsumen pengguna jagung.
Kemiskinan petani, kata dia, selain disebabkan oleh rendahnya harga-harga produk pertanian di pedesaan, tetapi juga berkorelasi dengan rendahnya produktivitas usaha tani. Kelembagaan ekonomi petani, kata dia, juga belum berfungsi sesuai dengan harapan disebabkan oleh empat hal. Pertama, kelembagaan petani masih belum berorientasi usaha produktif.
Kedua, akses terhadap kelembagaan keuangan/perbankan rendah. Ketiga, kelembagaan petani belum mampu melayani kebutuhan pengembangan agribisnis bagi anggotanya. Keempat, kelembagaan petani belum mampu menghubungkan dengan sumber-sumber informasi, teknologi, dan pasar sehingga belum mampu bersaing dengan pelaku usaha lainnya.
Oleh karena itu, diperlukan strategi yang dapat melindungi petani dari praktek penghisapan usahatani oleh pihak lain di luar petani. "Perkuat posisi tawar (bargaining position) petani melalui
pengembangan kelembagaan dan peningkatan produktivitas usahatani," ujarnya.
pengembangan kelembagaan dan peningkatan produktivitas usahatani," ujarnya.
Akibat keberadaan kelompok tani (Poktan) maupun gabungan kelompok tani (Gapoktan) belum memiliki kekuatan hukum, membuat mereka kerap tidak berdaya apabila menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan usaha karena dianggap tidak memiliki kekuatan di mata hukum.
Untuk itu, kata Endang, kelompok tani atau Gapoktan yang memenuhi persyaratan, berpeluang ditingkatkan kemampuannya untuk membentuk kelembagaan ekonomi petani.