Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Dukung Sistem Tata Usaha Hasil Hutan Online

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mendukung implementasi sistem tata usaha hasil hutan berbasis daring (online) guna memastikan transparansi pengawasan.
Kayu sitaan/Antara
Kayu sitaan/Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mendukung implementasi sistem tata usaha hasil hutan berbasis daring (online) guna memastikan transparansi pengawasan.

“Bila diarahkan ke daring, pelaporan dapat dipantau langsung sampai dengan sumbernya di hutan,” kata Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto kepada Bisnis.com, Senin (19/10/2015).

Menurut dia, adopsi sistem daring akan mengurangi potensi kebocoran pencatatan hasil hutan Indonesia. Dengan demikian, pelaku usaha tidak menjadi pihak yang disalahkan dari kelemahan administrasi selama ini.

Penggunaan sistem daring menjadi salah satu rencana aksi perbaikan tata usaha hasil hutan nasional dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Rencana aksi itu merupakan tindak lanjut hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi bertajuk Mencegah Kerugian Negara di Sektor Kehutanan.

Peneliti Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK Hariadi Kartodihardjo mengatakan selama ini KLHK telah menggunakan Sistem Informasi Pencatatan Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PUHH) berbasis Internet.

Namun, KPK menilai sistem itu kurang lengkap karena hanya mencakup data produksi dan penerimaan pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

“Kami meminta agar sistem daring meliputi laporan produksi resmi perusahaan hingga mengunggah bukti pembayaran PNBP,” katanya.

Akibat tata usaha yang tidak memadai, KPK menyatakan negara dirugikan hingga Rp86,9 triliun sepanjang 2003-2014—atau rata-rata Rp7,24 triliun per tahun.

Nilai tersebut merupakan PNBP yang hilang akibat adanya jumlah produksi kayu yang tidak tercatat.

KPK menilai dari 2003-2014 total produksi kayu riil mencapai 772,8 juta meter kubik. Sementara data statistik resmi hanya mencatat produksi 143,7 juta meter kubik atau sekitar 20% dari jumlah sebenarnya.

Selain pendapatan negara, KPK juga menghitung kerugian aset akibat kebocoran kayu itu mencapai Rp799,3 triliun selama 2003-2014—atau Rp66,6 triliun per tahun. Kerugian komersial adalah nilai uang dari kayu yang tidak tercatat tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper