Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Rakyat meninjau kembali regulasi mengenai rencana tata ruang wilayah guna mengurangi risiko inkonsistensi penataan ruang di Tanah Air.
Menteri ATR/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan mengungkapkan, pihaknya tengah mengkaji beberapa ketentuan dalam UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 15/210 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang berpotensi menimbulkan ketidakselarasan tata ruang.
Rencananya, hasil kajian tersebut akan diserahkan kepada Dewan Perwakilan rakyat (DPR) sebagai tindak lanjut.
“Intinya ada tiga poin yang ingin kita revisi. Salah satunya bagaimana kesempatan untuk mengubah rencana tata ruang [oleh pemda] itu hanya sekali dalam lima tahun, karena khawatir menjadi titik inkonsistensi,” ujarnya usai menghadiri Sosialisasi Peraturan Perundang-Undangan Bidang Penataan Ruang, Selasa (06/10).
Diskusi yang diadakan oleh Kementerian ATR/BPN itu merumuskan tiga pokok ketentuan mengenai tata ruang yang perlu direvisi.
Selain masa revisi tata ruang, penerapan sanksi berupa pencabutan kewenangan pemerintah daerah (pemda) yang melanggar rencana tata ruang dinilai akan lebih menimbulkan efek jera ketimbang sanksi berupa penjara dan denda yang berlaku selama ini.
Tak hanya itu, Kementerian ATR/BPN juga memberikan batas waktu hingga enam bulan kepada pemda untuk membekukan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ke dalam peraturan daerah, setelah persetujuan substansi dari Kementerian ATR diperoleh. Dengan demikian, pemda akan lebih disiplin untuk menuruti RTRW yang telah ditetapkan.
"RTRW daerah itu harus tertuang dalam perda, tetapi tidak ada ketentuan yang mengharuskan kapan perda itu selesai. Kita ingin supaya [pemda] konsisten, ketika dia [RTRW] tidak tertuang di dalam perda, maka itu adalah pelanggaran terhadap rencana tata ruang."