Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan Badan Pangan Nasional (Bapanas) untuk mengerek harga eceran tertinggi (HET) beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) atau beras Bulog dikhawatirkan berdampak negatif terhadap konsumen hingga menaikkan laju inflasi.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyampaikan, naiknya HET beras Bulog dapat menggerus pendapatan konsumen, bahkan memukul daya beli masyarakat.
Kenaikan tersebut juga dinilai berpotensi menaikkan laju inflasi. Apalagi jika kenaikan HET tidak diikuti dengan meningkatnya keuntungan petani.
“Jadi siapa yang diuntungkan dengan kenaikan HET? Di satu sisi merugikan konsumen, di sisi lain tidak menguntungkan petani,” kata Tulus Abadi kepada Bisnis, Minggu (5/5/2024).
Alih-alih mengerek HET beras Bulog, dia meminta pemerintah untuk memperbaiki rantai distribusi dari hulu ke hilir. Dengan begitu, harga beras di tingkat konsumen dapat stabil dan pemerintah tidak perlu menaikkan HET.
Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) resmi menaikkan HET beras Bulog per 1 Mei 2024. Keputusan tersebut tertuang dalam surat No. 142/TS/02.02/K/4/2024 tanggal 29 April 2024 tentang Penugasan SPHP Beras tahun 2024.
Baca Juga
Melalui surat tersebut, Bapanas mengerek HET sesuai zonasi sebesar Rp1.600 per kilogram hingga Rp1.700 per kilogram.
Secara terperinci, untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi, HET beras SPHP ditetapkan sebesar Rp12.500 per kilogram. Sebelumnya, HET beras Bulog dipatok sebesar Rp10.900 per kilogram.
Untuk wilayah Sumatra kecuali Lampung dan Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan, HET dibanderol Rp13.100 per kilogram dari sebelumnya Rp11.500 per kilogram.
Terakhir, untuk wilayah Maluku dan Papua, pemerintah mematok HET beras Bulog di level Rp13.500 per kilogram. Sebelumnya, pemerintah menetapkan HET beras Bulog sebesar Rp11.800 per kilogram.