Bisnis.com, SEMARANG - Para eksportir Jawa Tengah mengandalkan industri permebelan dan produk kerajinan berbahan baku kayu sebagai penopang perekonomian regional di tengah lesunya kondisi ekonomi makro dalam negeri.
Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Jateng Eddy Raharto memaparkan perekonomian global saat ini yang berimbas pada pelemahan ekonomi dalam negeri mempengaruhi rendahnya daya beli untuk segmen produk ekspor.
Di satu sisi, ujarnya, mestinya eksportir diuntungkan dengan depresiasi rupiah terhadap sejumlah mata uang asing. Namun, fakta di lapangan berbeda dengan apa dirasakan kalangan pengusaha.
“Yang bisa menopang perekonomian dalam keadaan seperti ini yakni produk mebel dan industri kreatif berbahan baku kayu. Di BUMN kita punya Perhutani,” terang Eddy, Jumat (25/9/2015).
Kendati industri tekstil dan produk tekstil menjadi andalan ekspor Jateng, Eddy mengakui pendapatan yang diperoleh pengusaha tidak begitu banyak. Pasalnya, bahan baku industri ini masih ketergantungan impor.
Maka tidak heran, lanjut Eddy, sejumlah pengusaha mengerem produksi untuk mengurangi penumpukan barang yang lebih banyak. “Tekstil terkena dampaknya, karena bahan bakunya mayoritas impor,” ujarnya.
Dia mengakui keuntungan eksportir dapat dinikmati apabila pesanan barang dilakukan satu tahun sebelumnya. Namun demikian, katanya, laba pengusaha juga tidak terlalu besar lantaran konsumen minta diskon harga.
Menurutnya, dampak pelemahan ekonomi domestik cukup berpengaruh pada penurunan permintaan hingga 10%-20%. “Pengusaha yang biasanya memperoleh margin 20% atau di bawahnya pasti tidak untung. Bahkan, biaya produksi malah naik,” papar dia.
Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo) Jateng Eri Sasmito mengatakan pengiriman produk permebelan dari wilayah ini yang diekspor ke Uni Eropa cukup mendominasi.
Dengan demikian, kondisi perekonomian di negara tujuan ekspor yang belum pulih bakal berpengaruh terhadap penurunan permintaan barang. Pengaruh lainnya, ujar Eri, mata uang sejumlah negara dalam beberapa waktu ini cenderung melemah.
“Nah, Uni Eropa merupakan pasar yang bagus. Kalau mereka kena krisis, dampaknya pada kita,” papar Eri.
Dia menilai potensi ekspor mebel dari Jateng cukup bagus jika diikuti dengan regulasi yang tepat. Selama ini, paparnya, pengusaha mebel merasa was-was dengan sejumlah aturan pemerintah yang menghambat kinerja ekspor.
Di sisi lain, Eri mengakui warga Uni Eropa menyukai produk mebel dan kerajinan dari Jateng yang memiliki ciri khas dari seni ukir yang merupakan hasil kreativitas tangan manusia atau hand made.
Produk tersebut meliputi meja, kursi, kusen, almari dan semua barang kayu dan kerajinan yang memiliki keunikan beda dengan tenaga mesin.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik menyebutkan ekspor kumulatif pada Januari-Agustus 2015 tercatat sebesar US$3,63miliar atau turun 4,49% ketimbang periode yang sama tahun lalu yang tercatat sebesar US$3,8 miliar.
Adapun, nilai ekspor Jateng pada Agustus 2015 mencapai US$445 juta atau mengalami peningkatan sebesar 15,81% dibandingkan ekspor Juli 2015 senilai US$384,24 juta.
Bila dibandingkan dengan Agustus 2014 (year on year) nilai ekspor mengalami lonjakan sebesar US$20,69 juta atau naik 4,87%.