Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Keramik Pangkas Tenaga Kerja Hingga 10%

Pelaku industri keramik menyatakan bahwa hingga Agustus 2015, rata-rata pelaku industri telah mengurangi jumlah tenaga kerja hingga 10%.
Produsen juga menurunkan harga untuk menyiasati kelesuan tersebut. /Antara
Produsen juga menurunkan harga untuk menyiasati kelesuan tersebut. /Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Per Agustus 2015, pelaku industri keramik memangkas pekerja sekitar 10%, seiring dengan penurunan penjualan akibat pasar yang melesu.

Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Elisa Sinaga mengatakan serapan tenaga kerja industri keramik dari tiap produk sekitar 200.000 orang, belum termasuk tenaga kerja yang tidak langsung.

“Dibanding dengan kondisi akhir 2014, kondisi sekarang saya yakin sudah banyak yang mengurangi tenaga kerja, terutama buruh tidak tetap,” jelasnya pada Bisnis.com, Senin (14/9/2015).

Saat ini, banyak pelaku usaha yang melakukan penumpukan stok akibat belum sehatnya distribusi. Idealnya, pabrikan memiliki stok untuk masa produksi baru atau berkisar 3 pekan hingga 1,5 bulan. Namun saat ini, penumpukan stok terjadi melebihi masa 3 bulan.

“Ini [jumlah] memang beda-beda tiap pelaku industri. Tapi stok sudah pasti menumpuk tergantung ketahanan dan lokasi, karena masing-masing punya cashflow berbeda. Tapi jelas bermasalah sehingga produksinya diturunkan untuk menyeimbangkan permintaan,” jelasnya.

Produsen juga menurunkan harga untuk menyiasati kelesuan tersebut. Dia mengatakan harga jual saat ini lebih rendah dibanding dengan 2014. Bahkan untuk beberapa produk lebih rendah dari harga 2013.

“Tapi penurunan harga ini kan tidak bisa terus-menerus. Sebagian pelaku industri memang sudah ada yang turunnya tajam, tapi ada juga yang sudah tidak kuat. Bahkan sudah ada yang produksinya turun 70% karena tidak bisa menyesuaikan harga yang bisa dikatakan tidak ada margin,” jabarnya.

Dia mengatakan kondisi seperti ini terus menekan produsen dengan penurunan volume penjualan dan penjualan harga, sementara ongkos produksi terus naik terutama akibat devaluasi rupiah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Shahnaz Yusuf
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper