Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri menilai Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang diterapkan akhir 2016 sulit diimplementasikan di sektor farmasi dan kosmetik, mengingat tingginya ketergantungan terhadap bahan baku impor.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Darodjatun Sanusi mengatakan porsi bahan baku impor saat ini berkisar 95%-96%. Hal ini membuat pemastian kandungan halal dari produk obat menjadi sulit dibuktikan. “Bagaimana kita mau mengecek halal atau tidaknya?” ujarnya pada Bisnis.com
Dia menjelaskan bahwa pada dasarnya pihaknya mendukung adanya beleid tersebut. Hanya saja, dia berharap industri farmasi bisa dikecualikan dengan pertimbangan bahan baku serta sumber daya manusia juga teknologi yang tersedia untuk mengevaluasi produk-produk farmasi.
“Kalau dibaca [UU JPH secar keseluruhan], sepertinya tidak berat. Tapi begitu masuk ke dalam kandungan obat, itu ada aspek lain seperti kesehatan masyarakat, juga aspek ilmu pengetahuan dan teknologi,” jelasnya.
Darodjatun mengatakan saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara yang membuat beleid produk halal dalam bentuk undang-undang. Menurutnya, aturan produk halal masih berupa semacam panduan untuk memperoleh sertifikat halal secara sukarela yang fungsinya untuk meningkatkan daya saing.
Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Parulian Simanjuntak mengatakan bahwa selain pelaku usaha, Kementerian Kesehatan beserta Badan Pengawas Obat dan Makanan telah sepakat bahwa obat belum perlu dimasukkan ke dalam pertimbangan halal maupun tidak.
“Ini karena obat adalah sesuatu yang mempunyai sifat kedaruratan. Jika agama dimasukkan ke ranah kesehatan masyarakat, bisa membuat bingung masyarakat,” ujarnya.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika (PPAK) Putri K. Wardani mengatakan pemerintah perlu melihat kesiapan dari pelaku industri untuk menyelesaikan persyaratan tersebut dalam tempo dua tahun, sebelum regulasi tersebut diterapkan.
“Seandainya belum, berikanlah perpanjangan. Jangan sampai industri kita malah mati,” ujarnya.
Dia mengatakan jumlah pelaku usaha yang mencapai ribuan serta jumlah keseluruhan produk yang dihasilkan belum seimbang dengan kuantitas lembaga dan sumber daya manusia pemberi sertifikat halal.
“Ini kerja sama antara pemberi sertifikat dan pelaku. Apakah pemberi sertifikat punya jumlah yang cukup banyak untuk memberikan sertifikat tepat waktu dalam dua tahun ini,” katanya.