Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

GONJANG-GANJING RUPIAH: Industri Keramik Kian Menjerit

Pelaku industri dalam negeri menyatakan depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat serta penggunaan mata uang ini dalam pembayaran energi gas mengerek ongkos produksi serta merusak kepastian bisnis.

Bisnis.com, JAKARTA—Pelaku industri dalam negeri menyatakan depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat serta penggunaan mata uang ini dalam pembayaran energi gas mengerek ongkos produksi serta merusak kepastian bisnis.

Elisa Sinaga, Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), mengatakan penggunaan dolar dalam pembayaran energi gas ke PT PGN ditengah depresiasi rupiah menyebabkan ongkos produksi meningkat 8%.

“Depresiasi sepanjang tahun ini telah mencapai 12%, sementara beban energi gas dari ongkos produksi mencapai 35%, serta penggunaan dolar pada industri ini mencapai 60%, akibatnya cost produksi naik 8%,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (26/8/2015).

Menurutnya, Peraturan Bank Indonesia No. 17/3/PBI/2015 Tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di  Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilakukan secara merata tanpa ada pengecualian. Apalagi total kebutuhan dolar dalam bisnis energi sangat tinggi.

Saat ini, lanjutnya, total penggunaan gas industri mencapai 800.000 per million metric british thermal unit (MMbtu) per hari dengan harga yang ditetapkan rata-rata sebesar US$9 per MMbtu. Dengan demikian, kebutuhan dolar dari sektor ini mencapai US$7,2 juta per hari.

Hal ini berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah seiring dengan kebutuhan dolar yang tinggi dari industri. Selain itu, tidak ada peraturan pemerintah yang mengatur penggunaan nilai acuan mata uang dalam setiap kontrak kerja sama dunia usaha.

“Ketika nilai tukar Rp12.500 per dolar, sejumlah kontrak ditetapkan Rp14.000. Harus ada nilai acuan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menciptakan kepastian bisnis. Bisa menggunakan asumsi APBN atau mengikuti skema yang dilaksanakan oleh Bea Cukai dalam kurs pajak,” tuturnya.

Akibat fluktuasi rupiah yang begitu cepat, ujarnya, pengusaha kesulitan menetapkan ongkos produksi keramik yang dapat menutup biaya energi ketika masa pembayaran. Penggunaan nilai acuan harus dilakukan dalam rentang waktu yang ditentukan.

Kondisi ini memperparah daya saing industri keramik nasional di hadapan produk impor, serta berpotensi meningkatkan kerugian seiring dengan penurunan permintaan pasar domestik dan ekspor yang ikut menurunkan harga jual keramik dengan rata-rata di atas 10% dari tahun lalu.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah harus mengumumkan ke publik terkait arah kebijakan dalam mengontrol nilai tukar. Dengan demikian dunia usaha akan merespons dengan penyesuaian rencana bisnis dan menciptakan keyakinan pasar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper