Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri serat sintetis terpaksa menurunkan produksi hingga 50% atau sekitar 200.000 ton pada semester I/2015, akibat kelebihan pasokan global yang berdampak di pasar lokal maupun ekspor.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wirawasta mengatakan ekspor serat sintetis turun jadi 5% dari tahun sebelumnya yang bisa mencapai 15% dari total produksi.
“Karena over supply, jadi susah. Jual ekspor susah, lokal juga susah. Gempuran impor juga masih terus terjadi sampai dunia normal,” ujarnya pada Bisnis, Selasa (18/8/2015).
Dia mengatakan kondisi baru akan membaik jika permintaan kembali normal atau jika suplai menurun. Untuk penurunan suplai, dia menilai hal itu sangat sulit sebab China masih tetap mendorong ekspor dengan strategi pelemahan mata uang.
Adapun untuk sisi permintaan yang belum normal, Redma mengatakan sulit diperbaiki sebab negara yang jadi pasar tradisional untuk serat sintetis seperti Eropa, Amerika Serikat dan Jepang masih belum normal kondisi perekonomiannya. Selama kondisi ini terjadi, dia menilai bahwa produk impor tetap akan menggempur pasar lokal.
Menurutnya, kondisi ini setidaknya akan terus berlangsung hingga pertengahan atau akhir 2016. Normalnya industri antara tekstil dan produk tekstil nasional bisa menyerap sekitar 700.000 ton serat sintetis per tahun. Namun diperkirakan saat ini hanya dibutuhkan sebesar 70%, dan itu sudah termasuk serapan produk impor.
Dia memperkirakan total produksi tahun ini hanya berkisar 400.000 ton, dibanding tahun lalu yang mencapai 700.000 ton. Penurunan ini juga berdampak pada aksi “merumahkan” tenaga kerja sebanyak 20% dari seluruh 19 perusahaan anggota Apsyfi.
“Sekarang yang lapor itu sekitar 1.000-an. Itu untuk yang dirumahkan. Belum lagi yang 'diakalin', misalnya seminggu kerja, seminggu libur, ganti-gantian,” kata Redma.