Bisnis.com, SURABAYA—Indonesia masih mencari titik temu dengan negara Asean lain untuk menyelaraskan berbagai regulasi dan standar kendaraan umum guna mencapai keterbukaan akses transportasi darat lintas batas Asia Tenggara.
Draf rekomendasi regulasi antar-Kementerian Perhubungan se-Asean itu dibahas dalam 29th Asean Transport Facilitation Working Group (TFWG) dan 5th Expert Group Meeting on Cross Border Transport of Passanger (CBTP) pada 22-23 April 2015 di Surabaya.
Badrul Ulum dari Pusat Komunikasi Publik Kemenhub mengungkapkan kedua forum internasional tersebut akan merapatkan finalisasi draf regulasi transportasi darat Asean, yang bakal dimantapkan dalam pertemuan di Kuala Lumpur, Malaysia pada November.
“CBTP sudah kali kelima, tapi [pembahasannya] masih core of reference, karena ada hal-hal yang belum bisa disepakati bersama. Kami masih memformulasikan [rekomendasi] yang bisa diterima dan berlaku di Asean,” paparnya di Surabaya, Selasa (21/4/2015).
Salah satu fokus dalam pertemuan tertutup yang akan dihadiri Sekjen Kemenhub Santoso Eddy Wibowo itu adalah merumuskan penyederhanaan persyaratan transportasi, agar angkutan darat lintas negara dapat lebih terbuka, khususnya di kawasan perbatasan.
Kasubdit Angkutan Jalan Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub Ahmadi Z.B. mengungkapkan sebenarnya Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina sudah menandatangani nota kesepahaman terkait hal tersebut.
“Nah, maunya ini bisa diterapkan di seluruh Asean. Di sisi lain, antarnegara Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja juga sudah memiliki kesepakatan sendiri. Namun, ada hal-hal yang berbeda dari kesepakatan mereka dengan peraturan yang berlaku di Indonesia,” tuturnya.
Untuk itu, sebut Ahmadi, pertemuan tingkat Asean tersebut bakal menggarisbawahi sinergi aturan mulai dari uji kendaraan, SIM, imigrasi, paspor, cukai, hingga soal asuransi dan penanganan terhadap kecelakaan angkutan jalan lintas batas negara.
Dia mencontohkan beberapa kendala yang selama ini masih belum ditemukan jalan keluarnya misalnya terkait uji kendaraan. Indonesia menginginkan agar pengujian dapat dilakukan di dalam negeri, tapi standar kelayakannya dapat diterima di seluruh anggota Asean.
“Jadi tidak perlu diuji berkali-kali. Begitu pula dengan posisi kemudi, yang sering menjadi persoalan adalah ada negara-negara yang posisi setir berada di kanan, dan ada yang di kiri. Tidak semua bisa menerima itu.”
Terkait persoalan imigrasi, dia mencontohkan ada negara yang meminta tetap dilakukan pemeriksaan, termasuk custom dan bagasi. Namun, ada juga yang berpendapat hal tersebut sudah tidak perlu dilakukan selama masih berada di kawasan Asean.
Hal lain yang menjadi pokok bahasan adalah standar keamanan angkutan darat, dan penanganan kecelakaan di luar negeri. “Misalnya, bus Indonesia kecelakaan di Thailand, maka mereka harus turut membantu. Tapi, seberapa besar bantuannya, itu yang akan dikaji.”
Staf Bidang Kerjasama Luar Negeri Kemenhub Amirudin menambahkan sejauh ini anggota Asean telah menandatangani 3 kesepakatan, yang mencakup 9 protokol. Lima di antaranya protokol Kemenhub, 2 Kementerian Keuangan, 1 Kementerian Pertanian, dan 1 asuransi.
Kerja sama pembukaan akses angkutan jalan lintas Asean tersebut, sambungnya, sebenarnya telah dirancang untuk di beberapa jalan yang ditunjuk mulai dari Pontianak Kalimantan Barat, Serawak Malaysia, hingga Brunei Darussalam.
Namun, untuk mengaktifkan akses tersebut dibutuhkan frontier post yang harus disepakati oleh Kemenkeu. “Tapi sejak 1988 Kemenkeu belum tandatangan. Ini akan menghambat karena finalisasi kesepakatan ini membutuhkan frontier post.”
Padahal, dengan adanya keterbukaan akses transportasi darat, warga di sekitar Kepulauan Karimata yang akan bekerja di Brunei Darussalam dapat terbantu. Selain itu, akses ke luar negeri bagi warga kelas menengah ke bawah menjadi lebih terbuka.