Bisnis.com, JAKARTA—Tren disinflasi diprediksi berakhir pada awal musim panen raya pada Maret, justru pada bulan yang sebelumnya selalu mencatatkan disinflasi.
Inflasi kembali melaju pada saat ketidakpastian harga BBM cenderung membuat harga barang kebutuhan pokok lebih mahal dari seharusnya (overpriced). Selain itu, ada juga dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM di periode sebelumnya.
Lana Soelistianingsih dari Samuel Aset Manajemen mengatakan menilai kebijakan penetapan harga BBM yang dijalankan pemerintah saat ini menggunakan periode yang terlalu pendek.
Pedagang dan produsen, jelasnya, tidak mungkin menyesuaikan harga mengikuti volatilitas harga BBM yang bisa berubah setiap 2 pekan.
Harga BBM yang fluktuatif mendorong pedagang menetapkan harga menggunakan asumsi harga tertinggi BBM dalam 2–3 bulan ke depan.
“Pelaku usaha tidak mungkin meng-adjust harga yang selalu berubah 2 mingguan, mereka jadi cenderung menggunakan harga yang paling mahal,” kata Lana ketika dihubungi Bisnis.com, Senin (30/3/2015).
Ekonomi Tanah Air biasanya mengalami disinflasi pada Maret ketika memasuki panen raya. Inflasi turun dari 0,26% pada Februari 2014 ke 0,08% pada Maret 2014. Pada 2013, inflasi turun dari 0,70% pada Februari menjadi 0,47% pada Maret.
Pada Januari dan Februari 2015 Indonesia terus menerus mengalami disinflasi dari deflasi 0,24% pada Januari menjadi deflasi 0,36% pada Februari.
Samuel Aset Manajemen memperkirakan laju inflasi Maret sebesar 0,4% (MoM) atau 6,36 (YoY). Median prediksi 11 ekonom yang disurvei Bloomberg memperkirakan inflasi Maret sebesar 0,18% (MoM) atau 6,36 (YoY).
Hal yang serupa disampaikan oleh Destry Damayanti dari Mandiri Instititute yang memperkirakan inflasi Maret sebesar 0,26% (MoM) atau 6,48% (YoY).
Dia mengatakan harga barang akan cenderung overpriced, atau underpriced pada skala yang jauh lebih kecil, selama dunia usaha beradaptasi terhadap volatilitas harga BBM.
Dampak perubahan harga BBM terhadap harga barang kebutuhan masyarakat dan tingkat inflasi dalam setahun ke depan menjadi lebih sulit diprediksi.
Tingkat harga dan inflasi menjadi sangat tergantung pada proyeksi pedagang dan produsen terhadap harga BBM dalam 3–6 bulan kedepan.
Dampak BBM terhadap inflasi menjadi lebih sulit diprediksi karena pelaku usaha masih beradaptasi terhadap harga BBM bisa berubah setiap 2 pekan.
Pola harga BBM saat ini memperbesar dampak sekunder (second round effect) pada tingkat harga. Inflasi yang biasanya naik 0,8% setiap BBM naik 10%, bisa naik lebih lambat pada saat kenaikan BBM namun berdampak pada bulan-bulan setelahnya.
“Kalau mereka memperkirakan akan terus naik, mungkin mereka menetapkan harga untuk 3 bulan ke depan. Atau sebaliknya, kenaikan BBM sekarang baru berdampak 3 bulan ke depan. Sudah di-adjust lebih dulu,” kata Destry.
Pemerintah Presiden Joko Widodo mengumumkan pencabutan subsidi premium pada November dan menetapkan pola subsidi tetap untuk bensin jenis solar.
Usai kenaikan pada November, pemerintah dua kali menurunkan harga BBM pada Januari 2015 dan dua kali menaikan harga BBM pada Maret 2015. Pada Maret ini, harga premium per liter naik dari Rp6.600 menjadi Rp6.900 pada 1 Maret 2015 dan naik lagi menjadi Rp7.400 pada 28 Maret 2015.[]