Bisnis.com, JAKARTA — Petani Tebu meminta pemerintah menyisihkan dana sebesar Rp50 triliun untuk merevitalisasi Pabrik Gula (PG) guna meningkatkan produksi gula.
Ketua umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil mengatakan dari total 62 PG yang ada di Indonesia, setidaknya PG yang perlu direvitalisasi sebanyak 50.
“Sisihkan saja rata-rata satu pabrik itu Rp1 triliun dan itu baru memperbaiki. Kalau 50 pabrik, Rp50 triliun itu bukan sesuatu yang besar,” katanya saat diskusi Seminar Penguatan Industri dan Bisnis Gula di Indonesia Tahun 2015, Rabu (18/3/2015).
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, dari total 62 PG di Indonesia, sebanyak 40 PG berusia 100 tahun – 184 tahun. Kemudian, 3 PG berusia 50 tahun – 99 tahun, 14 PG berusia 25 tahun – 49 tahun, serta 5 pabrik berusia di bawah 25 tahun.
Dia menambahkan Indonesia hanya mampu produksi gula rata-rata sebesar 2,2 juta ton – 2,5 juta ton per tahun. Sementara kebutuhan gula nasional sebesar 4,5 juta ton dengan 2,2 juta ton untuk industri makanan dan minuman serta 2,3 juta ton untuk kepentingan konsumsi.
Meski revitalisasi PG penting, dia mengatakan masih ada PG tua yang memiliki rendemen bagus di atas 10%. Salah satunya adalah PG Asesembagoes di Situbondo, Jawa Timur, PG Ngadirejo di kediri, dan PG Gempolkereb di Mojokerto.
“Jadi bukan berarti menghasilkan rendemen yang bagus. Karena rendemen itu dibentuk di batang tebu, rendemen itu kadar gula,” katanya.
Oleh karena itu, selain revitalisasi PG, Arum mengatakan perlu ada varietas unggul tebu dan pupuk yang cukup. Masalahnya, dia mengatakan saat ini pemerintah kurang memberi perhatian kepada para peneliti untuk menemukan varietas unggul.
“Kalau saya melihat di produsen gula dunia, peneliti ini menjadi garda terdepan sehingga dihasilkan varietas unggul yang memiliki rendemen tinggi,” ujarnya.
Permasalahan pupuk, lanjutnya, pemerintah tidak memberikan pupuk bersubsidi kepada petani tebu yang rata-rata memiliki luas areal tanam 2 juta hektar. Pasalnya, pemerintah membatasi pemberian pupuk bersubsidi dibatasi untuk petani di bawah 2 juta hektar.
Selain bibit unggul dan pupuk, Arum menambahkan permasalahn berikutnya adalah banyaknya irigasi yang rusak parah. Irigasi ini, lanjutnya, akan berpengaruh pada onfarm.