Bisnis.com, JAKARTA—Industri manufaktur diyakini tetap bertahan dari segi perdagangan maupun jasa tatkala Masyarakat Ekonomi Asean dimulai pada akhir 2015.
Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan sejumlah cabang industri manufaktur yang kini kurang berdaya saing, seperti semen, keramik, dan garmen.
“Industri defensif adalah yang less competitive dan harus dipertahankan eksistensinya di dalam negeri, pun yang ofensif bukan berarti pasar domestiknya dilepaskan,” katanya, Selasa (30/12/2014).
Untuk mengukur daya saing, Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membuat empat kelompok.
Cabang industri yang berdaya saing sangat tinggi ada di kelompok K1, sedangkan K2 untuk daya saing tinggi.
Industri yang masuk K1 mengantongi perolehan ekspor di atas US$10 juta dan impor di bawah US$5 juta dengan indeks dan tren Revealed Competitive Advantage (RCA) positif. K1 dan K2 berbeda dari pada tren RCA, kelompok K2 trennya negatif.
Sementara cabang industri yang kurang kompetitif masuk dalam golongan K3, dan mereka yang tidak kompetitif ada di kelompok K4. Ekspor industri K3 di bawah US$10 juta dengan impor di atas US$5 juta, indeks RCA negatif dan tren RCA masih positif.
Kelompok K4 mengekspor di bawah US$10 juta dan impor di atas US$5 juta dengan indeks dan tren RCA negatif.
Industri yang masuk dalam K1 dan K2 adalah bidang yang ofensif menghadapi MEA.
Sektor manufaktur yang dimaksud adalah tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki dan produk kulit, furnitur, makanan dan minuman, pupuk dan petrokimia, serta logam dasar besi dan baja.
Sementara bidang manufaktur yang defensif diprioritaskan untuk menguasai pasar dalam negeri, yaitu semen dan pakaian jadi alias garmen.
Tapi industri alas kaki, furnitur, serta makanan dan minuman juga tetap fokus menjaga pasar domestik.
“Tekstil jelas sangat unggul karena tidak defisit [neraca perdagangan],” tutur Harjanto.
Sebagai contoh, beberapa hal yang dilakukan Kemenperin untuk industri TPT dan alas kaki sepanjang tahun ini a.l. memberikan potongan harga dalam program restrukturisasi permesinan industri sebanyak 122 perusahaan.
Nilai bantuan mencapai Rp94,22 miliar, ini mendorong investasi Rp2,28 triliun.
Sejumlah 58 perusahaan industri TPT, alas kaki, dan penyamakan kulit tengah menunggu sebagai peserta restrukturisasi.
Total nilai bantuan untuk puluhan perusahaan ini perkiraan mencapai Rp77,5 miliar.
Ada pula perluasan investasi dan pembangunan pabrik baru Indorama Synthetic senilai total US$400 juta.
Pabrik ini memproduksi PET resin 88.000 ton per tahun, benang filament polyester 389.600 ton per tahun, dan 500.000 ton per tahun PTA untuk bahan baku serat polyester dan botol plastik.
Selain itu terdapat investasi dan pendirian pabrik Sritex senilai Rp5,9 triliun di Solo untuk memproduksi serat rayon 80.000 ton per tahun, benang 700.000 bales of yarn, dan apparel 16 juta piecesper tahun.
Sementara untuk industri petrokimia dibangun center of excellence di Banten. Ada pula proyek pembangunan delapan pabrik dengan nilai invetasi total Rp4,45 triliun dan US$1,34 miliar.
Disetujui alokasi gas untuk pengembangan pusat industri petrokimia di Teluk Bintuni, Papua Barat tahap pertama 180 mmscfd (Million Standard Cubic Feet per Day atau juta Standar Kaki Kubik per Hari).
Dilakukan pula penguatan struktur industri petrokimia melalui investasi pabrik asam nitrat berkapasitas 238.000 ton per tahun dan ammonium nitrat berkapasitas 300.000 ton per tahun oleh PT Kaltim Nitrat Indonesia.
“Petrokimia banyak masuk ke kelompok K1 dan K2, tetapi kebanyakan petrokimia bahan bakunya masih impor,” kata Harjanto.