Bisnis.com, JAKARTA -- Kisruh politik yang santer terjadi antara pemerintah dengan anggota dewan di level legislatif memperpanjang masa wait and see pada sektor properti.
Perpanjangan masa ini dialami oleh para konsumen lokal bahkan investor luar negeri.
Gejala pertama tercermin dari melemahnya indeks harga saham gabungan (IHSG) dan melorotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan gejolak politik anggota dewan legislatif baru-baru ini akan mempengaruhi kondisi pasar properti semakin tidak pasti.
“Pada dasarnya secara psikologis, hal ini [kisruh politik] akan mempengaruhi pasar yang wait and see semakin lama saja,” katanya saat dihubungi Bisnis.
Dia menambahkan masa menunggu tersebut sejatinya rampung pada Juli lalu ketika pemilihan presiden usai dan akan semakin pasti kondisinya pada masa pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih di akhir Oktober.
Namun, kondisi tersebut diperparah dengan pertikaian politik yang membuat ketidakpastian semakin tinggi. Hal tersebut, tandas Ali, sudah barang tentu menimbulkan ketidakpercayaan investor luar negeri dan bakal merugikan industri dalam negeri.
“Investor asing pasti akan menunda investasi di Indonesia sembari melihat perkembangan stabilnya panggung politik,” ujarnya.
Namun, menurut Direktur dan Sekretaris Perusahaaan Ciputra Group Tulus Santoso mengatakan jika dilihat dari kacamata konsumen lokal, kisruh politik tidak akan terlalu berpengaruh.
Baginya, konsumen lokal masih menunjukkan minat yang tinggi terhadap produk-produk properti karena kebutuhan yang tidak bisa dibendung lagi.
Di sisi lain, jika dilihat dari persepsi umum, kondisi tersebut akan menganggu putaran bisnis properti secara keseluruhan.
“Ketidakpastian masih berlangsung. Padahal harapannya setelah pemilu semuanya akan beres. Ini akan menambah rentetan panjang masa wait and see,” ujarnya.
Adapun Tulus memprediksikan kisruh politik tersebut tidak akan berkepanjangan dan hanya berlaku jangka pendek. Dia berharap kondisi tersebut akan membaik setelah pelantikan presiden dan wakil presiden yang baru.
“Akhir Oktober akan baik lagi. Jika tidak, laju pasar properti akan buruk dan otomatis ekonomi Indonesia akan melemah,” katanya.
Jika hal itu terjadi dan berkelanjutan, jelas Tulus, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat semakin melemah dan tidak menutup kemungkinan Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga.
Alhasil, kredit kepemilikan rumah (KPR) semakin mahal dan mengganggu ketersediaan pembiayaan rumah murah.
Sementara itu, investor juga akan berkelit untuk berinvestasi di Indonesia.