Bisnis.com, JAKARTA—Penerbitan sertifikat halal dinilai perlu melibatkan pihak ketiga yang berfungsi sebagai pemberi akreditasi kepada lembaga/institusi yang berwenang melakukan sertifikasi, sehingga label halal yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan.
Usulan tersebut diajukan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), menyusul kemelut yang menyeret Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama terkait siapa pihak yang paling berhak memberikan sertifikasi halal.
Menurut BSN, Komite Akreditasi Nasional (KAN) harus dilibatkan sebagai badan yang bertugas melakukan akreditasi saja. “Jadi bukan KAN yang melakukan sertifikasi. Ini yang sering keliru,” kata Kepala BSN Bambang Prasetya, Kamis (6/3/2014).
KAN melakukan akreditasi berdasarkan standar yang diakui oleh negara Islam (OIC SMIIC 3:2011). Selama ini, lanjut Bambang, banyak pihak yang kerap menyamakan akreditasi dengan sertifikasi. Padahal, keduanya merupakan prosedur yang berbeda.
Sekadar catatan, menurut BSN, akreditasi bertujuan untuk memastikan bahwa lembaga sertifikasi benar-benar kompeten dan bekerja secara kredibel sesuai dengan acuan, termasuk melalui standar, fatwa, dan regulasi.
Sementara itu, sertifikasi adalah proses untuk memastikan produsen menghasilkan produk sesuai dengan acuan dan/atau dengan sistem manajemen tertentu, termasuk melalui sistem jaminan halal, ISO 9001, dan sebagainya.
Pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) belum tuntas selama 9 tahun terakhir akibat silang pendapat antara pihak Kemenag dan MUI. Padahal, menurut Bambang, penuntasan isu sertifikasi halal adalah kebutuhan yang mendesak jelang era pasar bebas Asean.