Bisnis.com, JAKARTA--Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpotensi melanggar konstitusi kalau pemerintah tetap memberlakukan harga bahan bakar minyak jenis Pertamax berdasarkan harga pasar selain membiarkan lahan tambang jadi agunan perusahaan tambang.
Demikian dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Center for Petroleum & Energy Economics Studies (CPEES), Kurtubi dalam diskusi bertema RUU Migas untuk Siapa? di Gedung DPR hari ini, Selasa (10/9/2013).
Selain Kurtubi, turut menjadi nara sumber Anggota Komisi VII DPR, Bobby Adityo Rizaldi dan pengamat Hukum Tata Negara Irman Putrasidin.
Menurutnya, dengan memberlakukan harga pasar atas produk Pertamax sama saja pemerintah tidak melindungi sektor industri penting yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur undang-undang.
Apalagi, ujarnya, kebijakan yang dikeluarkan Badan Pengelola (BP) Migas itu seharusnya sudah tidak berlaku karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah membubarkan lembaga tersebut.Kalau Pertamax tersebut merupakan bahan bakar yang seluruhnya diimpor maka harganya boleh menggunakan hukum pasar.
"Ini kan tidak, digali di Indonesia," ujarnya.
Dia menilai dibentuknya badan pengganti BP Migas berupa Satuan Kerja Sementara Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas), tidak ada artinya karena praktik lembaga baru itu sama saja dan telah merugikan negara.
Kurtubi juga menegaskan upaya perusahaan tambang mengagunkan lahan dan cadangan migas yang ada di dalamnya ke sektor perbankan untuk mendapatkan pinjaman, juga berpotensi melanggar konstitusi.
Pasalnya, lahan dan cadangan gas tersebut merupakan kekayaan milik negara yang tidak boleh diagunkan karena menyangkut kedaulatan negara.
Jadi, untuk kedua hal ini Presiden berpotensi melanggar konstitusi negara, ujarnya menegaskan.
Terkait kinerja SKK Migas, lebih jauh Kurtubi menjelaskan praktik lembaga itu telah menyebabkan kerugian negara pada sektor migas.
Pasalnya, jika SK Migas menjual migas maka lembaga itu membutuhkan pihak ketiga dengan menunjuk trader.
Penunjukkan pihak ketiga itu akan menyebabkan kerugian sekitar Rp400 miliar dibanding menjual secara langsung," ujarnya.
Selain itu, pemerintah berpotensi dituntut oleh perusahaan minyak asing jika terjadi sengketa karena SK Migas adalah lembaga yang menjadi perwakilan pemerintah.
Sementara itu, pengamat Hukum Tata Negara Irman Putrasidin mengatakan ke depan UU Migas seharusnya tidak lagi membuat presiden tidak bertanggung jawab langsung atas pengelolaan migas negara.
Dengan dibentuknya SKK Migas yang berada di bawah pengawasas Kementerian ESDM selama ini, presiden menjadi tidak bertanggung jawab atas praktik tambang dan penjualan migas. (ra)