Bisnis.com, JAKARTA — Asia harus menjalankan transformasi struktural jika ingin naik kelas sebagai kawasan dengan pendapatan tinggi, dan tidak hanya menggantungkan pembangunan pada percepatan laju pertumbuhan.
Jesus Felipe, penasehat Departemen Ekonomi dan Penelitian di Bank Pembangunan Asia (ADB) berpendapat dewasa ini negara berkembang seperti Indonesia terlalu khawatir dengan masalah nilai tukar, padahal itu bukan faktor penentu prospek ekonomi dalam jangka panjang.
“Transformasi struktural justru merupakan kunci paling mendasar untuk memajukan Asia. Selama ini ada lima poin utama yang hilang dalam pembangunan di negara berkembang Asia,” ujarnya di Jakarta, Selasa (3/9/2013).
Pertama, menurut Felipe, masalah peningkatan pendapatan per kapita yang berbanding lurus dengan penurunan aktivitas agrikultur dan angka bekerja. Kedua, peningkatkan ekspor yang dibarengi dengan diversifikasi dan upgrading produk.
Ketiga adalah modernisasi perusahaan. Keempat adalah penggenjotan ekonomi perkotaan melalui urbanisasi. Kelima, pembangunan yang disertai dengan perubahan sosial.
Dia menggambarkan fase pembangunan di banyak negara maju diawali dengan penurunan kapasitas agrikultur yang dilanjutkan dengan industrialisasi, sebelum beralih orientasi ke sektor jasa. Fase industrialisasi itulah yang banyak diabaikan oleh negara berkembang.
“Lebih dari 700 juta warga Asia bekerja di sektor agrikultur. Inilah yang perlu dimodernisasi. Mereka tidak bisa mengabaikan fase industrialisasi jika ingin menjadi kawasan berpendapatan tinggi,” katanya.
Selain itu, Felipe menambahkan, kualitas pendidikan merupakan poin yang sangat esensial untuk melakukan diversifikasi industrial. Jika hal itu tercapai, negara berkembang dapat mulai menggeser basis manunfaktur ke teknologi tinggi seperti kimia, permesinan, dan barang elektronik.
Raden Pardede, co-founder Creco Research Institute berpendapat ada beberapa faktor yang mutlak diperlukan untuk dapat melakukan transformasi struktural. Faktor itu a.l. permintaan dan supplai termasuk pendidikan dan skill, demografi dan geografi, kapabilitas organisasi, serta kebijakan spesifik.
“Masalahnya, sejak krisis 1998, interaksi antara ekonomi dan politik di Indonesia menjadi tidak produktif. Akibatnya, fase transformasi struktural jadi melambat setelah 2000, diiringi dengan booming ekspor komoditas,” jelasnya.
Menurut Pardede, Indonesia terlalu bergantung pada komoditas batu bara, migas, dan CPO, sehingga tingkat diversifikasi ekspor sangat rendah. Pada 2000, manufaktur mendominasi sekitar 58% perekonomian dan tahun lalu sektor itu bahkan tidak mencapai 40% karena digantikan oleh ekspor komoditas.
Untuk itu, solusi yang ditawarkan Pardede adalah investasi modal manusia dan infrastruktur, serta fasilitasi pemerintah. “Kita juga harus mempertahankan keseimbangan lingkungan makro ekonomi,” pungkasnya.
FASE TERBURUK TELAH BERLALU
Sementara itu, fase terburuk di pasar negara berkembang Asia dinilai telah berlalu setelah para investor menarik keluar modal miliaran dolar bulan lalu, di tengah kekhawatiran akan pengurangan stimulus Federal Reserve Amerika Serikat.
Analisis itu dipaparkan oleh Nomura Holdings Inc, yang mengklaim prospek pasar berkembang Asia masih ‘sangat positif’ dalam 5—10 tahun mendatang. Jumlah investasi juga diperkirakan kembali menyesuaikan kapasitas ekonomi negara-negara di kawasan itu.
“[Pasar berkembang] telah melalui fase krisis terburuk, tapi tidak berarti masing-masing negara akan berhenti menemui tantangan besar,” jelas Steve Ashley, Kepala Pasar Global Nomura yang berbasis di London, sebagaimana dikutip Bloomberg.
Kapitalisasi pasar terhadap saham yang diperdagangkan di China mendominasi 37% produk domestik bruto (PDB) negara itu, dibandingkan dengan level 107% di AS. Proporsi untuk Indonesia adalah 45%, sedangkan Filipina dan India masing-masing 69% dan 54%.
Ashley berpendapat pasar telah kecanduan program quantitative easing, sehingga mereka harus menghentikan ketergantungan itu. Itulah, menurutnya, yang menjelaskan turbulensi yang terjadi dalam pasar berkembang dewasa ini.
“Demi menjaga kesehatan pasar keuangan dalam jangka panjang, sangat penting untuk melakukan normalisasi,” tegasnya.
Menurutnya, pasar tidak seharusnya takut terhadap normalisasi. Secara historis, paruh pertama dari siklus pengetatan moneter biasanya diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang mumpuni dan performa risiko aset yang baik.
“Menjelang akhir dari siklus pengetatan, Anda baru akan melihat performa risiko aset yang mulai menurun,” jelasnya.
Diversifikasi Kelompok Negara Asia:
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Grup 1 Kelompok negara industrial modern yang berbasis ekonomi jasa, seperi Jepang dan Korea Selatan.
Grup 2 Kelompok negara yang melakukan industrialisasi, tetapi belum maksimal, seperti Malaysia, Thailand, dan China.
Grup 3 Kelompok negara yang masih bergantung pada agrikultur, seperti India, Pakistan dan Bangladesh.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: ADB, 2013
Perbandingan Basis Sektor dan Angka Bekerja di Asia (2012):
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Sektor: Dominasi dalam ekonomi: Cakupan tenaga kerja:
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Agrikultur 10,9% 42,8%
Industri 40,2% 23,62%
Jasa 48,9% 33,58%
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: ADB, 2013