Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Akuisisi Inalum: Ini Saran untuk Indonesia Sebelum ke Arbitrase

Bisnis.com, JAKARTA - Pemilihan aturan arbitrase, panel dan pengacara yang tepat dinilai dapat membantu Indonesia dalam pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) bila kasus ini sampai ke badan arbitrase.

Bisnis.com, JAKARTA - Pemilihan aturan arbitrase, panel dan pengacara yang tepat dinilai dapat membantu Indonesia dalam pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) bila kasus ini sampai ke badan arbitrase.

Ahli Hukum Perdagangan Internasional Theo Lekatompessy mengatakan dirinya mendengar kasus Inalum memang akan dibawa ke arbitrase di Belanda.

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk bertarung di meja arbitrase, seperti pemilihan aturan arbitrase, panel, dan pengacara.

Theo mengatakan, dalam kasus Inalum, ada dua kemungkinan aturan yang akan digunakan, antara lain The Rules of Arbitration dariThe International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, dan The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.

“Kalau Indonesia mau menjadi pihak yang tidak dirugikan, sebaiknya pemerintah menghidari penggunaan ICSID Rules karena itu sejarahnya akan menguntungkan investor, dalam hal ini Jepang,” kata Theo ketika dihubungi Bisnis, Rabu (21/8/2013).

Biasanya, lanjut Theo, aturan ICSID yang mengacu pada aturan Bank Dunia ini akan menguntungkan pihak investor. Apabila Indonesia kalah dalam arbitrase melalui aturan ini, Indoensia akan dikawal untuk melaksanakan keputusan hakim. “Sangat ketat,” katanya.

Berbeda dengan aturan ICC, yang merupakan aturan komersial. Menurut Theo, keputusan aturan ini biasanya 50:50 atau mengambil jalan tengah.

Kemudian, dalam pemilihan panel, harus diusahakan untuk tidak menggunakan hukum Inggris, tetapi menggunakan panel yang mengerti hukum Indonesia atau Belanda yang di dalamnya ada itikad baik.

Selain itu, pemilihan pengacara juga menjadi salah satu kunci. “Ketiganya itu merupakan persiapan sebelum berperang.”

SIAP KE ARBITRASE

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan bila hingga 1 November 2013 belum ada kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan pihak Jepang terkait pengambilalihan Inalum, pemerintah siap untuk membawa kasus itu ke arbitrase.

Dia mengatakan perundingan antara Indonesia dan pihak Jepang yang diwakili oleh konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA) terus dilakukan secara intensif untuk mempercepat negosiasi. Dia berharap akhir bulan ini tim perundingan sudah menuju tahap finalisasi.

Adapun hal yang masih belum mencapai kesepakatan masih sama, yakni soal nilai buku. Indonesia menetapkan nilai buku berdaarkan perhitungan sebelum revaluasi, sementara pihak Jepang sudah.

Perbedaan nilai buku dari pemerintah Indonesia dengan NAA terjadi akibat master of agreement yang dibuat pada awal perjanjian tidak memperhitungkan berbagai aspek yang bisa terjadi di kemudian hari, seperti krisis yang melanda Indonesia pada 1998.

“Tetapi kalau sampai deadlock, master of agreement memberikan petunjuk memilih pihak ketiga untuk menjadi penengah, atau pergi ke arbitrase,” kata Hidayat.

Yang pasti, lanjut Hidayat, pada 1 November 2013, fisik Inalum sudah diberikan kepada Indonesia terlebih dahulu. Selanjutnya, bila Inalum telah diambil alih 100% oleh Pemerintah Indonesia, Hidayat merekomendasikannya untuk  berdiri sendiri sebagai badan usaha milik negara (BUMN). Hal ini disebabkan kepemilikan saham Inalum akan sepenuhnya menjadi milik pemerintah.

Saat ini, Pemerintah Indonesia memiliki 41,13% saham Inalum, sisanya 58,87% dimiliki oleh konsorsium NAA. Konsorsium ini beranggotakan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebagai wakil Pemerintah Jepang dan 12 perusahaan swasta Jepang.

Adapun seusai pengambilalihan, Inalum diharuskan menambah kapasitas produksi. Pemerintah melalui tim negosiasi pengambilalihan Inalum merekomendasikan agar pasca pengambilalihan, Inalum harus menambah kapasitas aluminium primer hingga 400.000 ton per tahun dengan kebutuhan investasi sekitar US$700 juta atau setara Rp7 triliun.

Beberapa pengembangan bisnis yang direkomendasikan antara lain, Inalum harus mensuplai aluminium primer dan aluminium alloy untuk kebutuhan domestik dan sisanya bisa diekspor.

Kemudian, Inalum harus mengembangkan aluminium alloy untuk memenuhi kebutuhan aluminium hilir domestik yang difokuskan untuk kabel transmisi listrik.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Riendy Astria
Editor :
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper