BISNIS.COM,JAKARTA--Pembentukan kawasan pertanian jagung terpadu (Corn Belt) dalam rangka mendukung industri pakan modern belum bisa diwujudkan dalam waktu dekat karena sulitnya mendapatkan lahan dan adanya tata niaga yang belum tepat.
Direktur Serelia Ditjen Tanaman Pangan Kementan Fathan A. Rasyid mengatakan hal penting yang menjadi kunci keberhasilan program ini adalah tersedianya kawasan yang diperuntukkan khusus tanaman jagung saja. Namun, sampai saat ini pemerintah pusat masih kesulitan mewujudkannya.
“Pemetaan perwilayahan komoditas itu sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah, pemerintah pusat tidak bisa secara penuh mengintervensi hal ini. Masalahnya, sampai saat ini pemerintah daerah belum serius menanggapi kebijakan ini,” keluhnya kepada Bisnis, Kamis (4/7/2013).
Selain keterbatasan lahan, lanjut Fathan, Industri pakan masih terkonsentrasi di beberapa lokasi yang letaknya cukup jauh dari sentra produksi jagung rakyat. Menurutnya, hal ini sangat tidak efisien karena perbedaan letak yang cukup jauh ini akan menambah biaya transportasi dari sentra produksi ke lokasi industri.
“Industri pakan masih terkonsentrasi di pusat-pusat industri saja, sementara itu sentra produksi jagung menyebar diberbagai wilayah di pinggiran daerah. Hal ini sangat tidak efektif karena industri harus membeli jagung petani dengan harga yang cukup tinggi akbat biaya transportasinya yang besar,” jelasnya.
Untuk itu, pihaknya berharap dengan adanya gagasan pembentukan kawasan pertanian jagung terpadu ini mampu mengatasi masalah tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GMTP), Sudirman Said mengatakan terkonsentrasinya industri pakan ternak di beberapa wilayah tertentu khususnya di kawasan industri karena sebagian besar bahan baku masih di impor dari negara lain.
“Bahan baku kita sekitar 50% itu masih impor, dan pintu masuk impor itu masih terkonsentrasi di beberapa pelabuhan saja, seperti tanjung Priok di jakarta dan tanjung perak di Surabaya. Itulah mengapa pengusaha masih enggan membangun pabrik di sentra produksi jagung. Karena cost-nya juga sama saja, malah lebih besar akibat transpor dari pelabuhan kelokasi pabrik,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Sudirman, untuk menarik pelaku usaha agar mau membangun pabrik di daerah sentra produksi jagung. Maka, harus ada jaminan bahwa bahan baku tidak tergantung dari impor. Caranya adalah dengan mengoptimalkan sumberdaya dalam negeri.
Saat ini ketergantungan impor bahan baku masih sangat tinggi, terutama jagung. Menurut catatannya, pada 2010 impor jagung Indonesia mencapai 1,9 juta ton, pada 2011 naik menjadi 3,1 juta ton, pada 2012 sempat turun ke 1,7 juta ton. namun pada 2013 diprediksi meningkat lagi sekitar 2,8 juta ton. realisasi impor di semester I 2013 saja sudah mencapai 1,5 juta ton.
Salah satu penyebab tingginya impor jagung yang dilakukan Indonesia untuk memenuhi pasokan industri pakan ternaknya adalah industri memerlukan continuitas bahan baku yang relatif stabil sepanjang tahun, sementara itu produksi jagung dalam negeri masih berfluktuasi menurut musim.
Selain itu, berdasarkan fakta di lapangan yang Dia kumpulkan. Menyebutkan bahwa tidak semua jagung yang dihasilkan petani diserap oleh industri pakan, sebagian produksi petani dipasarkan untuk kebutuhan lokal karena dinilai lebih menguntungkan.