Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BBM BERSUBDISI: Posisi Pemerintah Dilematis

BISNIS.COM, JAKARTA—Lambatnya penetapan keputusan yang konkrit terkait pengendalian konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi telah menempatkan pemerintah dalam posisi yang dilematis.

BISNIS.COM, JAKARTA—Lambatnya penetapan keputusan yang konkrit terkait pengendalian konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi telah menempatkan pemerintah dalam posisi yang dilematis.

INDEF melihat tidak terkendalinya konsumsi BBM bersubsidi telah menunjukkan dampaknya pada defisit neraca perdagangan dan defisit keseimbangan primer. Adanya defisit ganda tersebut, berimplikasi pada pelemahan nilai tukar rupiah.

Selain itu, INDEF juga melihat tingginya inflasi pada 2013 ini juga tidak terlepas dari ekspektasi inflasi masyarakat akibat hiruk pikuk wacana kenaikan harga BBM bersubsidi.

INDEF menilai kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan langkah fundamental yang bisa memperbaiki kondisi tersebut.

Namun, Direktur Eksekutif INDEF Ahmad Erani Yustika mengungkapkan kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi memiliki ‘biaya’ yang tidak sepadan dengan manfaat yang diperoleh.

Menurutnya, kenaikan harga BBM bersubsidi berisiko memacu laju inflasi lebih kencang dari level saat ini yang sudah tinggi. Hal tersebut, jelas Erani, akan memberikan dampak terbesar kepada kelompok masyarakat miskin dan sektor industri.

“Kalau [pemerintah] mau menaikkan [harga BBM bersubsidi] itu sekarang rentan sekali ketika kemampuan untuk mengendalikan inflasi sangat lemah. Manfaatnya memang mengurangi defisit neraca perdagangan, tetapi ada kontraksi luar biasa terutama di ekonomi bawah serta sektor industri kita,” katanya seusai acara Evaluasi Triwulanan INDEF, Selasa (9/4).

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan sepanjang kuartal I/2013, inflasi tercatat sebesar 2,43% year-to-date, sedangkan dalam APBN 2013 pemerintah menetapkan target inflasi sebesar 4,9%.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi INDEF Enny Sri Hartati mengatakan pemerintah seharusnya telah memiliki persiapan yang panjang sehingga tidak perlu memusingkan dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi. Selain itu, pemerintah harus memiliki target waktu yang konsisten jika hendak menaikkan harga.

“Pemerintah harusnya memiiki planning kapan akan mencabut subsidi, sementara sekarang tidak ada persiapan sama sekali, tidak ada kebijakan mitigasi risiko, dan bantalan pengamanan sosial. Banyak hal sebetulnya bisa dilakukan untuk antisipasi [kenaikan harga],” paparnya.

Data BPS memperlihatkan selama Januari sampai Februari 2013, neraca perdagangan migas mencatatkan defisit sebesar US$2,4 miliar. Padahal, neraca perdagangan non migas dalam periode yang sama mencatatkan surplus US$ 2,02 miliar. Surplus neraca perdagangan non migas tersebut tidak mampu menutupi defisit neraca perdagangan migas.

Adapun pada periode yang sama tahun lalu, defisit neraca perdagangan migas hanya tercatat sebesar US$14 juta. Di sisi lain, defisit keseimbangan primer tercatat sebesar Rp45,5 triliun dalam APBN-P 2012.

Ekonom INDEF Didik J. Rachbini mengatakan defisit ganda yang dialami Indonesia menunjukkan adanya ketidakseimbangan ekonomi dalam negeri. Ketidakseimbangan ini, lanjutnya, berisiko membawa Indonesia masuk ke dalam krisis.

“Krisis itu datang dari keseimbangan yang tidak dijaga,” tegasnya.

 

 

 

 

 

 

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper