Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

ROYALTI PERTAMBANGAN : Penerimaan Negara Harus Lebih Tinggi Dari Omzet Perusahaan

BISNIS.COM, JAKARTA -- Pemerintah tetap memaksakan agar penerimaan negara lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan perusahaan dalam setiap renegosiasi kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).

BISNIS.COM, JAKARTA -- Pemerintah tetap memaksakan agar penerimaan negara lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan perusahaan dalam setiap renegosiasi kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Thamrin Sihite mengatakan royalti hanya salah satu komponen dalam upaya peningkatan penerimaan negara dari renegosiasi KK dan PKP2B. Pemerintah akan tetap memaksakan penerimaan negara lebih tinggi dibandingkan keuntungan yang diperoleh perusahaan.

“Dalam perundingan kita yang utama itu negara harus mendapatkan penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan pendapatan dia [perusahaan]. Royalti kan hanya bagian kecil, selain itu ada iuran tetap dan pajak dalam renegosiasi itu,” katanya di Jakarta, Kamis (21/3/2013).

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan akan menaikkan royalti 10 kali lipat dari royalti yang dibayarkan perusahaan pertambangan saat ini. Selain itu, pemerintah juga akan memaksakan divestasi 51% secara bertahap, mempertinggi penggunaan komponen dalam negeri, penyesuaian luas wilayah dan jangka waktu.

Thamrin mengungkapkan saat ini pihaknya terus melakukan perundingan untuk menyepakati renegosiasi KK dan PKP2B dengan perusahaan. “Royalti kan masih dirundingkan. 10% seperti yang dibilang Pak Hatta [Hatta Rajasa] baru akan menjadi kenyataan kalau sudah ada di dalam kontrak baru yang ditandatangani,” ujarnya.

Thamrin mengaku dirinya tidak mengetahui jika royalti yang harus dibayarkan perusahaan dalam renegosiasi harus 10%. Pasalnya, royalti yang dikenakan kepada setiap komoditas berbeda nilai dan besarannya.

Sebelumnya, Thamrin juga mengungkapkan ada 5 perusahaan pemegang KK dan 8 perusahaan pemegang PKP2B yang akan menandatangani renegosiasi dalam waktu dekat. Dengan penambahan 13 perusahaan itu, maka saat ini telah ada 69 perusahaan pemegang KK dan PKP2B yang setuju dengan renegosiasi.

Dalam proses renegosiasi sendiri ada 6 isu krusial yang masih tarik menarik antara pemerintah dengan perusahaan. 6 isu krusial itu adalah luas wilayah kerja pertambangan, jangka waktu, besaran royalti yang harus dibayar, pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, penggunaan komponen dalam negeri dan divestasi.

PT Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara misalnya, saat ini masih belum sepakat dengan persoalan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sementara perusahaan pemegang PKP2B umumnya belum bersepakat dengan persoalan luas wilayah kerja pertambangan.

PT Freeport Indonesia siap melakukan uji kelayakan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) bijih mineral bersama pemerintah sebagai langkah awal untuk melaksanakan amanat Undang-Undang No. 4/2009.

Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik B Soetjipto mengatakan saat ini perusahaan masih mengkaji dua opsi terkait isu pengolahan dan pemurnian bijih mineral di Indonesia. Salah satunya adalah melakukan uji kelayakan bersama pemerintah terkait pembangunan smelter di dalam negeri.

“Freeport siap berpartisipasi dan mendukung joint feasibility study bersama instansi yang ditunjuk pemerintah, BUMN [badan usaha milik negara] dan perguruan tinggi dalam mengkaji kelayakan pembangunan smelter di Indonesia,” jelasnya.

Sedangkan opsi kedua, lanjut Rozik, Freeport Indonesia akan bekerjasama dengan pihak ketiga yang ingin membangun smelter. Dalam kerja sama itu nantinya, Freeport Indonesia akan menjamin pasokan konsentrat sebagai bahan baku untuk produk akhir yang dihasilkan dari smelter itu.

Kebijakan pembangunan smelter di dalam negeri memang merupakan salah satu isu krusial dalam renegosiasi kontrak karya (KK) yang belum disepakati oleh pemerintah dan perusahaan. Padahal, kebijakan pembangunan smelter itu paling lambat harus sudah dilakukan pada 2014 sesuai amanat UU No. 4/2009.

Selama ini, 30% bijih mineral yang diproduksi Freeport Indonesia diolah dan dimurnikan oleh PT Smelting Gresik, sementara 70% sisanya masih diekspor. Kementerian ESDM pun mengancam pelarangan ekspor bijih mineral bagi perusahaan yang belum membangun smelter 2014 nanti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Lili Sunardi
Editor : Others
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper