BISNIS.COM, JAKARTA--Pemerintah mencatat hanya 50% penduduk di perkotaan yang menikmati air minum. Sementara hanya 36% penduduk pedesaan yang menikmati layanan air minum.
Air tidak bisa disangkal memuat nilai sosial karena merupakan kebutuhan primer. Tantangan pemerintah ialah memberikan pelayanan air minum kepada semakin banyak orang dengan dengan harga yang wajar.
Dari perpektif bisnis, menyediakan air minum dengan pelayanan terbaik dan harga yang terjangkau menjadi peluang yang menjanjikan.
Untuk meningkatkan layanan air minum itu, Pemerintah menggalakan mekanisme kerja sama dengan swasta. Terdapat dua mekanisme yang dipakai yakni pertama, skema kerjasama pemerintah swasta (KPS) yang merujuk pada Perpres no.13/2010 tentang Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur menyedian sejumlah dukungan dan insentif kepada swasta.
Kedua skema business to business (b to b) yang merujuk kepada Permen PU no.12/2010 tentang Pedoman Kerjasama Pengusahaan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.
Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BP PSPAM) Rahmat Karnadi mengungkapkan dengan hadirnya dua pola bisnis itu pemerintah berharap swasta akan lebih tertarik pada bisnis penyediaan air minum.
"Rata-rata di perkotaan hanya 50% yang terlayani air minum. Ini suatu peluang buat swasta karena kota-kota di Indonesia umumnya akan terus bertumbuh,"paparnya kepada Bisnis kemarin.
Ia menjelaskan bisnis air minum di perkotaan sangat prospektif karena semuanya terukur mulai dari infrastruktur perpipaan, tenaga dan cost recovery. Cost recovery di perkotaan, papar Rahmat umumnya berada di kisaran Rp3500 ke atas untuk air satu meter kubik. Artinya satu liter dihargari Rp3,5.
Ia mengakui cost recovery itu masih sangat kecil, tetapi faktor yang tidak bisa dilupakan ialah air merupakan kebutuhan semua orang. Pemerintah, paparnya, terus mengkaji skema bisnis yang paling efisien tetapi kompetitif. Hal itu dikarenakan air mempunyai nilai sosial, sebagai bentuk pemenuhan hajat hidup orang banyak seperti yang diamanatkan UU.
Seperti diketahui skema KPS hingga sejauh ini belum berjalan. SPAM Maros, Umbulan, Semarang dan lainnya masih menunggu besaran viability gab funding (VGF) sebagai bentuk dukungan pemerintah.
Ketika skema KPS mandek, justru skema b to b terus menunjukkan trend positif. Skema b to b merupakan kerjasama langsung antara investor dan PDAM. Skema b to b yang berjalan di beberapa PDAM terus menunjukkan perbaikan kinerja pelayanan air minum yang baik. Tambah lagi laba PDAM juga bertamabah.
Melihat potensi bisnis itu, Rahmat mengungkapkan, pihak swasta ragu-ragu sekaligus bergairah. Keraguan pihak swasta umumnya lebih disebabkan pemerintah daerah sebagai pengelolah PDAM belum memahami dengan baik skema b to b. Keterlibatan swasta dalam bisnis di PDAM akan sedikit meningkatkan tarif karena ada biaya yang harus dikeluarkan untuk meningkatkan pelayanan air minum.
"Pemdanya belum paham skema b to b. Resiko memang lebih banyak ada di pihak swasta pemerintah hanya perlu menjamin selama masa konsesi yang umumnya 25 tahun,"paparnya.
Dihubungi secara terpisah, sebagai salah satu investor di PDAM Tangerang dan Medan, Managing Director PT Nusantara Infrastruktur Bernardus Djonoputro mengungkapkan bisnis air minum sangat menjanjikan.
Semua kota besar Indonesia memiliki rata-rata jumlah penduduk sekitar 1 juta dan akan terus bertumbuh. Namun dari sekitar 400an PDAM di Indonesa masih sedikit yang berhasil menyediakan pelayanan terbaik.
Keterlibatan swasta bertujuan membantu meningkatkan pelayanan dan memperluas jaringan air minum dengan pertimbangan ekonmonis harga yang wajar dan terjangkau. Ia menyakini dengan memberikan pelayanan yang baik masyarakat akan membayar walaupun tarif yang ditetapkan sedikit lebih mahal.
Ia mengambil contoh pengembangan layanan air minum privat di kawasan real estate di mana warga akan membayar sedikit lebih mahal tetapi dengan jaminan pelayanan air 24 jam dan tekanan air yang bagus.
“Jika dibandingkan dengan bisnis di bidang infrastruktur lainnya, internal rate return (IRR) di bidang air minum sebetulnya sangat rendah hanya 15%,” ujar Bernardus.
Ia menyebutkan sedikitnya ada tiga pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam bisnis air minum. Pertama menaikan produksi dengan cara menyediakan debit air yang cukup di PDAM. Kedua membantu menyalurkan kepada masyarakat dengan cara memperbaiki pipa dan menangani kebocoran pipa.
“yang berikutnya PDAM itu perlu membangun capasity building di level managerial dengan mempertimbangkan cara pikir coorporate. PDAM harus diadit,” paparnya.
Pengembangan capasity building itu mencakup kemampuan manajeman yang baik dan memahami cara pikir corporasi seperti misalnya bagaimana cara meningkatkan jumlah pelanggan tetapi dengan pelayanan yang terbaik.
Masyarakat tentu berharap banyak pada pemerintah untuk tetap menjaga keseimbangaun antara pelayanan air minum dan nilai bisnisnya. Bisnis air minum dengan cara memberikan pelayanan terbaik untuk memenuhi kebutuhan primer ini tentu berbeda dengan model privatisasi sumber air.