Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Moneter Singapura atau Monetary Authority of Singapore (MAS) tidak mengubah kebijakan moneternya pada Rabu (30/7/2025) seiring dengan inflasi yang terkendali dan ketidakpastian dampak tarif AS terhadap prospek ekonomi.
Melansir Bloomberg, langkah MAS dilakukan setelah dua kali pelonggaran berturut-turut pada bulan sebelumnya. MAS, yang menggunakan nilai tukar sebagai instrumen utama kebijakan alih-alih suku bunga, menyatakan bahwa kemiringan (slope), lebar (width), dan titik tengah (center) dari koridor kebijakan tetap tidak berubah. Keputusan ini sesuai prediksi 14 dari 19 ekonom dalam survei Bloomberg.
Singapura sejauh ini baru terkena tarif sebesar 10%, level terendah dari kebijakan tarif pemerintahan Trump. Namun, Presiden AS telah menyatakan tidak akan menetapkan tarif di bawah 15% per 1 Agustus 2025.
Pejabat Singapura, yang sebelumnya bertemu mitranya di New York dan Washington awal bulan ini, juga menyuarakan kekhawatiran atas potensi tarif pada sektor farmasi dan semikonduktor.
Selena Ling, Kepala Riset dan Strategi di Oversea-Chinese Banking Corp, menyebut pada saat ini dampak tarif bagi Singapura masih sangat tidak pasti. Meski perlambatan pertumbuhan pada paruh kedua tahun ini hampir pasti, tekanan inflasi masih bisa mengarah dua arah.
"Sehingga keputusan untuk tidak mengubah kebijakan hari ini adalah langkah paling logis,” katanya.
Baca Juga
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Singapura sangat rentan terhadap perlambatan perdagangan global yang berkepanjangan. Perdagangan barang dan jasa setara dengan sekitar tiga kali produk domestik bruto (PDB) negara tersebut.
“Prospek ekonomi Singapura masih dibayangi ketidakpastian besar, terutama pada 2026. Perubahan tarif efektif global dapat memengaruhi kinerja sektor-sektor berorientasi ekspor Singapura," tulis MAS dalam pernyataannya.
Pemerintah sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Singapura akan berada pada kisaran 0%–2% pada 2025.
MAS menggunakan sistem nilai tukar terkelola, memungkinkan pergerakan mata uang dalam suatu koridor kebijakan. MAS dapat mengatur kemiringan, titik tengah, dan lebar koridor untuk memengaruhi kecepatan apresiasi atau depresiasi.
Namun, rincian seperti komposisi keranjang mata uang, nilai tukar target, atau laju penyesuaian tidak diumumkan secara terbuka.
Terkait inflasi, MAS menyatakan bahwa tekanan harga dalam jangka pendek diperkirakan tetap terkendali, meskipun masih ada risiko dua arah akibat tarif AS. Kebijakan saat ini dinilai berada pada posisi yang sesuai untuk menjaga stabilitas harga dalam jangka menengah.
Vishnu Varathan, Kepala Riset Makro Asia ex-Jepang di Mizuho Bank Ltd, mengatakan kombinasi sikap hati-hati ini menunjukkan bahwa MAS siap siaga, tetapi tetap waspada.
“Untuk pertemuan Oktober, MAS mungkin tetap bernada dovish, tetapi itu mengarah pada sikap netral secara fundamental. Jadi, belum tentu mereka akan melonggarkan kebijakan lagi,” katanya.
Singapura, yang mengimpor sebagian besar kebutuhan pokoknya, mencatat inflasi inti melambat dalam beberapa bulan terakhir. Inflasi inti pada Juni tercatat sebesar 0,6% (yoy) dan tetap di bawah 1% sejak awal tahun.
MAS juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat pada paruh kedua 2025, setelah mencatat kinerja kuat pada semester pertama, sebagian berkat lonjakan impor (front-loading) sebelum tarif AS diberlakukan.
“Beberapa sektor terkait perdagangan diperkirakan akan mengalami koreksi, meski aktivitas di sektor konstruksi serta segmen jasa keuangan masih akan ditopang oleh peningkatan investasi infrastruktur dan kondisi keuangan yang lebih longgar,” demikian pernyataan MAS.