Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut praktik beras yang tak sesuai mutu dan label kemasan alias oplosan masih marak terjadi di kelas premium, ketimbangkan kelas rendah. Alasannya, terdapat pada margin.
Ekonom Senior Indef Tauhid Ahmad mengatakan bahwa praktik beras oplosan tidak diperkenankan, termasuk menggunakan beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) Bulog yang merupakan subsidi pemerintah.
Tauhid menilai, praktik beras oplosan ini terjadi lantaran oknum ingin mengantongi keuntungan yang lebih tinggi.
“Mungkin praktik ini juga banyak begitu dilakukan para pelaku usaha terutama pedagang-pedagang yang kemudian mengambil keuntungan tinggi,” kata Tauhid saat dihubungi Bisnis, Senin (28/7/2025).
Menurutnya, praktik beras oplosan ini terjadi disebabkan karena adanya kategorisasi beras yang beragam yang dimanfaatkan para oknum. Adapun, praktik kecurangan ini kerap kali terjadi utamanya pada beras premium.
”Banyak [praktik pengoplosan beras]. Sebenarnya karena begini. Pertama, beras itu kan berkelas-kelas. Ada yang premium, medium atau yang biasa, beras murah. Karena kan jenis beras yang beragam. Kedua, kualitas beras dari mulai gabah sampai panen itu kan beragam,” tuturnya.
Baca Juga
Pasalnya, sambung dia, masyarakat pada dasarnya menginginkan beras dengan harga yang bagus alias terjangkau dan kualitas tinggi.
“Sehingga akhirnya ini dimanfaatkan celah oleh para pelaku usaha, terutama yang memang di [beras] kelas medium atau premium,” ujarnya.
Namun, Tauhid menuturkan bahwa untuk beras di kelas yang lebih rendah, praktik pengoplosan beras ini relatif sedikit terjadi. “Karena kan udah harganya murah. Susah. Walaupun ada, ya, pasti pakai beras yang rusak,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Tauhid mengatakan bahwa praktik pengoplosan beras tidak bisa sepenuhnya hilang. Meski begitu, dia menyebut dengan pemerintah melakukan inspeksi mendadak (sidak), maka frekuensi praktik beras oplosan ini akan semakin berkurang.
Di samping operasi sidak, Tauhid mengatakan pemerintah harus menjaga stabilitas pasar dengan memastikan distribusi dan pasokan tetap terjaga agar harga beras tidak melambung.
“Jangan sampai karena para pelaku yang seperti ini pada tiarap, pasokan berasnya nggak ada. Jadi harganya kan naik,” tuturnya.
Selain itu, Indef juga menilai pemerintah juga harus membuka pos layanan pengaduan serta edukasi secara masif kepada masyarakat terkait kualitas beras di pasaran.
Sebelumnya diberitakan, polisi telah menyita 9 ton beras oplosan dari seorang pengusaha atau distributor lokal berinisial R yang kini sudah ditetapkan tersangka di Riau.
Oknum tersebut menjual beras di kisaran Rp5.000–Rp7.000 per kilogram. Harganya lebih mahal dari yang seharusnya. Selain itu, juga diperkirakan selisihnya dapat mencapai Rp9.000 jika dioplos menjadi beras premium. Selain itu, juga diduga kualitas beras berada di bawah standar mutu.
Adapun, operasi yang dipimpin Direktorat Reskrimsus Polda Riau di bawah Kombes Ade Kuncoro mengungkap dua modus operandi yang dilakukan tersangka R.
Pertama, pelaku mencampur beras medium dengan beras berkualitas buruk atau reject kemudian dikemas ulang (repacking) menjadi beras SPHP.
Kedua, pelaku membeli beras murah dari Pelalawan dan mengemasnya ulang dalam karung bermerek premium seperti Aira, Family, Anak Dara Merah, dan Kuriak Kusuik untuk menipu konsumen.
Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan mengatakan bahwa barang bukti yang disita meliputi 79 karung beras SPHP oplosan, 4 karung bermerek premium berisi beras rendah, 18 karung kosong SPHP, timbangan digital, mesin jahit, dan benang jahit.
Menanggapi hal itu, Direktur Utama Perum Bulog Ahmad Rizal Ramdhani memastikan beras yang dioplos dalam bentuk kemasan SPHP di Riau bukanlah beras SPHP.
Rizal menuturkan, modus operasi yang dilakukan oknum ini adalah dengan membeli kantong beras SPHP bekas. Kemudian, oknum mengisi dengan beras seharga Rp8.000 per kilogram.
“Kemudian dengan beras yang Rp8.000 [per kilogram] itu ditambah lagi beras reject yang pecahan-pecahan itu, dimasukkan ke dalam beras SPHP, dimasukkan ke dalam kantong beras packing SPHP,” tutur Rizal saat ditemui di Koperasi Kelurahan Merah Putih Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta, Minggu (27/7/2025).
Setelah itu, sambung Rizal, oknum tersebut menjahit kemasan SPHP bekas dan menjualnya di pasar seharga Rp13.000 per kilogram.
“Hasil pemeriksaan dan hasil penelitian bahwa yang bersangkutan mengaku itu [melakukan repacking]. Jadi bukan beras Bulog yang dijadikan oplosan, tapi kantongnya yang dipakai untuk jualan SPHP itu,” ungkapnya.
Berkaca dari kejadian ini, Perum Bulog telah mengirimkan tim ke seluruh wilayah untuk mengontrol beras SPHP di pasaran, termasuk melibatkan Bintara Pembina Desa/Samudera/Angkasa (Babinsa) dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas).
Bulog juga akan mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang menyediakan karung SPHP bekas dan melakukan repacking beras SPHP, termasuk melibatkan Koperasi Desa/Kelurahan (KopDes/Kel) Merah Putih.